HeadLine.co.id, (Opini) – Seorang traveler bernama Roger Tyers (37) melakukan perjalanan di sembilan negara dengan menaiki 24 kereta. Ia
menghabiskan waktu selama sebulan di kereta dengan biaya lebih dari USD 2.500 atau Rp 35,3 juta. Jumlah itu hampir tiga kali lipat biaya penerbangan PP.
Perjalanannya dimulai dari Southampton, Inggris menuju China bagian timur. Ia melakukan perjalanan ke kota pelabuhan China, Ningbo untuk penelitian akademik pada bulan Mei. Tyers menjelaskan bahwa aksinya bukan karena cinta kereta api, tetapi karena kereta api lebih ramah emisi hampir 90% dibanding naik pesawat PP.
Hal ini merupakan wujud kepeduliannya terhadap perubahan iklim. Ia merasa harus berhenti terbang saat para pakar iklim PBB memperingatkan bahwa dunia memiliki waktu kurang dari 11 tahun untuk menghindari tingkat pemanasan global yang sangat dahsyat.
Tidak hanya Tyers, ribuan orang lainnya di seluruh dunia secara terbuka telah berjanji untuk berhenti naik pesawat.
Mereka mengatakan bahwa pemerintah telah mengumumkan keadaan darurat iklim sehingga sudah sewajarnya bila mereka tidak naik pesawat. Hal tersebut diperkuat dengan peringatan ilmuwan tentang dampak buruk pemanasan global terhadap kesehatan manusia dan masa depan spesies yang tak terhitung jumlahnya.
Bahkan seorang aktivis bernama Maja Rosen membuat kampanye ‘penerbangan gratis’ di Swedia pada tahun 2018 lalu. Tujuan kampanye tersebut untuk mendorong 100.000 orang supaya tidak terbang selama satu tahun.
Sayangnya hanya sekitar 14.000 orang yang mau menandatangani petisi online #flightfree2019. Meskipun hanya ditandatangani 14.000 orang, kampanye tersebut telah membuat banyak orang sadar akan urgensi dari krisis iklim serta memotivasi mereka untuk lebih sering menggunakan moda transportasi kereta api.
Kampanye tersebut juga memicu unggahan bertagar #flygskam dan #tagskryt yang berasal dari masyarakat yang naik kereta di Swedia. Arti tagar itu adalah rasa malu naik pesawat.
Dikutip dari Detik Traveler, menurut sebuah survei yang dirilis pada Mei 2019 oleh Swedish Railways (SJ), 37% responden memilih untuk bepergian dengan kereta api. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan awal tahun 2018 sebanyak 20%.
Seorang juru bicara SJ mengatakan bahwa perjalanan kereta api melonjak dan jumlah penumpang pesawat domestik pada bulan Juli turun 12% dibandingkan tahun sebelumnya.
Jejak emisi yang dihasilkan penumpang tergantung pada sejumlah faktor. Faktor tersebut antara lain seberapa jauh mereka terbang, seberapa penuh pesawat tersebut dan kelas apa yang mereka pesan. Penumpang first class yang memiliki ruang lebih luas berpotensi menghasilkan proporsi yang lebih besar dari emisi pesawat.
Emisi dari perjalanan kereta juga tergantung pada banyak faktor. Kereta listrik yang bertenaga energi ramah lingkungan memiliki emisi yang jauh lebih rendah dibanding kereta bertenaga diesel.
Industri penerbangan menyumbang 2% dari emisi karbon dioksida (CO2). Pada 2050, emisi ini diperkirakan akan meningkat hingga 22% jika tidak ada perubahan.
Menurut Grantham Research Institute on Climate Change, masih banyak maskapai yang tidak bertindak banyak untuk menurunkan emisi. Hingga saat ini masih belum jelas strategi jangka panjang dari mereka.
International Air Transport Association (IATA), sebuah organisasi perdagangan 290 maskapai penerbangan telah menetapkan target 2050 untuk mengurangi emisi. Jumlahnya hingga setengah dari tingkat emisi yang ada di tahun 2005.
“Ini adalah tugas yang sulit karena industri penerbangan masih berkembang, tetapi kami yakin itu dapat dicapai,” ujar seorang juru bicara IATA.
Mereka berencana menggunakan kombinasi bahan bakar berkelanjutan, langkah efisiensi serta teknologi baru. Adapun penerapannya seperti penciptaan pesawat hibrida hingga listrik.
Hal di atas butuh teknologi yang sangat maju. Baterai listrik saja diproyeksikan baru dapat memberi daya lebih dari setengah mobil baru pada tahun 2040.
David Romps, seorang profesor ilmu iklim di University of Berkeley di California mengatakan bahwa alternatif pengurangan emisi hanya dari kereta listrik karena saat ini baterai listrik yang ada tidak cukup kuat membuat pesawat tetap terbang jauh.