Headline.co.id (Jakarta) — Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menilai arah kebijakan perpajakan nasional perlu dikoreksi agar lebih berpihak pada konsumsi masyarakat. Ia menegaskan, penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai tahun 2026 menjadi langkah penting untuk memulihkan daya beli rakyat dan memperkuat keadilan fiskal setelah satu dekade kebijakan yang dinilainya lebih menguntungkan korporasi besar.
“Kita sudah terlalu lama hidup dalam arus yang salah. Kenaikan PPN bersamaan dengan penurunan PPh Badan memang tampak pro-pertumbuhan di atas kertas, tetapi efek riilnya justru memperlambat sirkulasi uang di lapisan bawah. Perusahaan besar menimbun kas, konsumsi masyarakat melemah, dan daya beli terus menurun,” ujar Fakhrul Fulvian dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (31/10/2025).
Menurut Fakhrul, penurunan PPN satu persen dapat menjadi sinyal moral sekaligus koreksi kebijakan fiskal untuk mengembalikan napas konsumsi rakyat. “Langkah kecil tapi konsisten ini bisa menjadi sinyal bahwa negara ingin mengembalikan napas konsumsi rakyat—fondasi sejati pertumbuhan ekonomi Indonesia,” jelasnya.
Namun, Fakhrul mengingatkan, kebijakan penurunan tarif PPN harus dibarengi dengan penundaan sementara penurunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan, agar tidak mengganggu ruang fiskal dan menjaga kredibilitas anggaran negara. “Kita perlu menjaga keseimbangan. Jika PPN diturunkan, maka ruang fiskal harus dilindungi dengan menahan sementara penurunan PPh Badan,” tegasnya.
Fakhrul juga menilai kebijakan dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan yang menaikkan PPN dan menurunkan PPh Badan beberapa tahun lalu merupakan langkah yang keliru karena melemahkan keadilan fiskal. “Itu kebijakan yang salah arah. Kita menurunkan pajak bagi yang paling kuat, sementara menaikkan beban bagi rakyat paling rentan. Akibatnya, uang menumpuk di korporasi, sedangkan konsumsi masyarakat justru tertekan,” ujarnya.
Untuk menjaga penerimaan negara tanpa menambah beban rakyat, Fakhrul menyarankan tiga langkah korektif. Pertama, menertibkan praktik miss-invoicing dalam perdagangan internasional. Kedua, melakukan reformasi cukai rokok dan produk turunan tembakau. Ketiga, mengintegrasikan sistem data lintas kementerian guna menekan kebocoran fiskal dan meningkatkan efisiensi pengawasan.
“Reformasi perpajakan sejati tidak terletak pada besar kecilnya tarif, melainkan pada kepercayaan fiskal antara negara dan rakyat,” tutur Fakhrul. Ia menekankan pentingnya membangun ulang arsitektur kepercayaan publik terhadap sistem pajak nasional. “Rakyat tidak keberatan membayar pajak jika yakin uangnya digunakan dengan benar. Tapi selama yang patuh terus ditagih dan yang bermain bebas dari sanksi, kepercayaan fiskal akan runtuh,” katanya.
Lebih lanjut, Fakhrul menegaskan bahwa penurunan PPN bukan semata soal fiskal, melainkan soal moral dan keadilan sosial. Ia menilai kebijakan tersebut akan menjadi simbol bahwa pemerintah berpihak kepada rakyat kecil dan berkomitmen menumbuhkan ekonomi dari bawah. “Menurunkan PPN bukan hanya soal fiskal, tapi soal moral. Ini tentang mengembalikan rasa adil di antara pembayar pajak serta membangun keyakinan bahwa negara hadir untuk memperkuat rakyatnya,” ujarnya.
Fakhrul menutup dengan menegaskan bahwa penerimaan negara yang sehat bukan sekadar soal angka, melainkan tentang manfaat nyata bagi masyarakat. “Negara yang kuat adalah yang rakyatnya merasa kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari. Itulah makna sejati dari keadilan fiskal,” pungkasnya.





















