HeadLine.co.id, (Opini) – Belakangan, dunia dihebohkan dengan satu makhluk tak kasat mata bernama CORONA. Makhluk kecil yang selama ini tidak menjadi perhatian kita, namun sekarang semua mata menengok ke arah dia.
Penyebarannya yang sangat pesat, menembus batas wilayah suatu negara, tanpa bisa dikendalikan lajunya. Dia tanpa perlu surat, bisa masuk negara lain dengan leluasa. Tanpa bisa dicegah.
Hampir semua manusia kaget. Ekonomi menjadi lumpuh. Eksport import macet. Pariwisata terhanti. Transportasi sepi. Keramaian terhenti. Mandeg. Stagnan.
Banyak orang kehilangan rejeki. Ribuan orang dirumahkan. Sekolah ditutup untuk tatap muka langsung.
Jika menilik soal Ekonomi, entah berapa milyar dolar hilang. Nyawa-nyawa pun melayang.
Setiap orang bertanya-tanya, apakah orang itu (yang ditemui di mana pun) adalah pembawa virus? Dan lupa bertanya pada diri sendiri: apakah aku juga pembawa virus?
Saling curiga, saling melotot, saling membuang muka. Padahal saat ini adalah saat yang tepat untuk menyatukan semua bangsa di dunia. Saat yang tepat untuk memadukan rasa. Bukan melawan sebuah virus bernama CORONA. Tetapi mengajak dia melewati permasalahan ini. Bisa jadi, sang Corona tidak punya maksud jahat. Dia juga tidak bisa mengendalikan dirinya.
Manusia adalah makhluk. Corona pun makhluk. Manusia (konon katanya) diciptakan lebih mulia dari makhluk lainnya.
Sebagai sesama makhluk, kita semua (manusia dan Corona) pasti tunduk pada satu Kekuatan, Tuhan.
Maka, sebelum kita mengadu dan minta Tuhan turun tangan, ada baikñya kita ajak Corona bicara.
Bicara dengan Corona? Mustahil. Menggelikan. Tidak masuk akal.
Itu pendapat yang belum paham konsep makhluk dan makhluk lain.
Saya pribadi sering mengajak bicara awan, angin dan hujan. Supaya mereka menyingkir saat ada kegiatan atau teman berkegiatan out door. (Alhamdulillah, si awan, hujan dan angin menurut. Mereka pindah tempat. Menjauhi arena kegiatan).
Helooo, Saya bukan dukun pawang hujan. Saya hanya berkomunikasi sebagai sesama makhluk.
Pakai bahasa apa? Bahasa kita masing-masing. Yang mau berbahasa Indonesia, silakan. Mau bahasa Jawa, monggo. Bahasa Inggris, please. Bahasa Sunda, mangga. Bahasa apa pun yang nyaman dipakai.
Untuk kasus Corona ini, kita pun bisa lakukan itu. Kita pakai bahasa kita.
Misal: “Wahai Corona, kita adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan.
Tahukah kau, berapa banyak kerusakan yang sudah terjadi di atas bumi ini karena penyebaranmu?
Jujur, aku maafkan itu semua. Tapi aku minta, kamu semua berhenti menyebar. Berhenti menyakiti kami. Berhenti membuat kami panik.
Jika selama ini kami membuat kerusakan di atas bumi dan di alam semesta ini, maafkanlah kami.
Kami berjanji akan memperbaiki diri.
Tolong, jangan lagi kalian menyebar. Sudah cukup, Corona. Sudah cukup.
Tolong berhentilah.
Jika teman-teman se-Kota Semarang berucap hal ini, berapa banyak yang berucap. Jika se-Indonesia, berapa banyak. Jika sedunia, berapa banyak…
Dan kata-kata itu diucapkan berulang. Pukul 6, 9, 12, 15, 18, 21.
Maka komunikasi akan berulang terjadi. Berputar seluruh dunia. Sampai Corona sadar, mereka sudah membuat kerusakan yang sangat parah.
Lalu, kita penuhi janji Kita: tidak membuat kerusakan di atas bumi. Berhenti melakukan kejahatan, berhenti sumpah serapah. Berdamai dengan semua makhluk. Saling menjaga dan menyayangi.
Saya yakin, Tuhan akan tersenyum bahagia.
Semarang, 14 Maret 2020
Executive Director of seJIWA Foundation, Yuktiasih Proborini