Bolehkah Menikah Tanpa Cinta Karena Disuruh Orang Tua? Simak Hasil Bahtsul Masail NU ~ Headline.co.id (Jakarta). Pertanyaan tentang boleh tidaknya menikah demi birrul walidain (berbakti kepada orang tua) meski tanpa rasa cinta atau kecocokan, menjadi bahasan menarik dalam forum edukasi Bahtsul Masail keislaman. Diskusi ini mengangkat dilema yang sering muncul di tengah masyarakat Muslim: antara ketaatan kepada orang tua dan kesiapan hati untuk membangun rumah tangga.
Contents
- 0.1 You might also like
- 0.2 Mensos Gus Ipul: Pemerintah Pertimbangkan B.J. Habibie Jadi Pahlawan Nasional
- 0.3 BPKH dan MUI Perkuat Literasi Keuangan Haji Lewat 4.000 Dai Standar Nasional
- 1 Menikah: Antara Ibadah dan Kesiapan Hati
- 2 Pandangan Ulama: Cinta Penting, Tapi Bukan Satu-Satunya
- 3 Panduan Nabi SAW: Menikahlah Setelah Yakin dan Tertarik
- 4 Birrul Walidain: Antara Ketaatan dan Kematangan Pilihan
- 5 Ma‘ruf: Fondasi Moral dalam Rumah Tangga
- 6 Kesimpulan: Menikah dengan Restu dan Kesadaran Diri
- 7 Penutup
Kasus seperti ini mencerminkan bagaimana Islam menempatkan keseimbangan antara perintah berbakti kepada orang tua dan kebebasan pribadi dalam memilih pasangan. Dalam konteks ini, para ulama memberikan pandangan komprehensif agar umat tidak terjebak pada keputusan emosional semata, melainkan berdasarkan hikmah dan maslahat jangka panjang.
Baca juga: Hukum Transaksi Jual Beli Online di Masjid: Antara Etika Ibadah dan Kebutuhan Digital Umat
Menikah: Antara Ibadah dan Kesiapan Hati
Menikah dalam Islam bukan sekadar perjanjian sosial, melainkan juga ibadah besar yang menuntut kesiapan lahir dan batin. Ustadz penjawab dalam rubrik Bahtsul Masail NU Online menegaskan bahwa keikhlasan hati terhadap pasangan adalah bagian penting dari keberhasilan pernikahan.
Taat kepada orang tua memang sangat mulia. Namun, jika pernikahan dijalankan tanpa adanya kecenderungan atau rasa nyaman terhadap calon pasangan, hal tersebut dapat menimbulkan persoalan di kemudian hari. Rasa cinta memang bisa tumbuh seiring waktu, tetapi tidak ada jaminan hal itu selalu terjadi. Karena itu, Islam mendorong umatnya untuk tetap mempertimbangkan kesiapan hati sebelum memutuskan menikah.
Baca juga: Makna Sejati Tawakal: Islam Ajarkan Keseimbangan Antara Takdir dan Ikhtiar
Pandangan Ulama: Cinta Penting, Tapi Bukan Satu-Satunya
Imam Izzuddin Abdul Aziz bin Abdus Salam dalam kitab Al-Ghayah fi Ikhtishar an-Nihayah menulis bahwa setiap keputusan dalam rumah tangga, termasuk perceraian, harus memiliki dasar rasional dan maslahat. Beliau menegaskan, hilangnya rasa cinta dapat menjadi alasan sah bagi perceraian jika memang mengganggu keharmonisan.
“Talak itu terbagi menjadi sunni, bid‘i, makruh, dan mubah. Adapun yang mubah adalah talak karena alasan yang dapat diterima secara rasional, seperti munculnya rasa tidak cocok, kecurigaan, atau hilangnya cinta,” (Izzuddin Abdul Aziz bin Abdus Salam, Al-Ghayah fi Ikhtishar an-Nihayah, Beirut, 2016, Juz 5:575).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa cinta memang memiliki tempat penting dalam rumah tangga, tetapi bukan satu-satunya faktor penentu. Komitmen, tanggung jawab, dan sikap ma‘ruf (berbuat baik) justru menjadi penopang yang lebih kuat dalam mempertahankan hubungan suami istri.
Baca juga: Doa Sholat Taubat: Memohon Ampunan dan Kembali ke Jalan Allah
Panduan Nabi SAW: Menikahlah Setelah Yakin dan Tertarik
Rasulullah SAW juga memberikan panduan agar seseorang mempertimbangkan baik-baik calon pasangannya sebelum menikah. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka jika ia bisa melihat sesuatu darinya yang membuatnya tertarik untuk menikah, maka lakukanlah,” (HR. Abu Dawud).
Hadis ini menegaskan bahwa Islam tidak menghendaki umatnya menikah secara “buta perasaan”. Kecocokan, kenyamanan, dan niat yang jelas merupakan bagian penting dari pertimbangan syar’i. Dalam konteks ini, penanya diharapkan untuk tetap menimbang sisi ketertarikan terhadap calon pasangan yang direstui orang tua, tanpa mengabaikan kesiapan batin.
Baca juga: Syarat, Niat, dan Tata Cara Jamak Sholat dalam Perjalanan Jauh
Birrul Walidain: Antara Ketaatan dan Kematangan Pilihan
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Al-Adab asy-Syar’iyyah menjelaskan bahwa jika orang tua memerintahkan anak untuk menikah karena khawatir akan terjerumus dalam dosa, maka perintah itu layak dipertimbangkan.
“Jika seseorang memiliki kedua orang tua yang memerintahkan menikah, maka aku perintahkan dia untuk menikah, terutama jika ia masih muda dan khawatir terjerumus dalam dosa,” (Ibnu Muflih al-Hanbali, Al-Adab asy-Syar’iyyah, Beirut, 1999: 461).
Namun, bila perintah menikah datang tanpa mempertimbangkan perasaan atau kecocokan, maka tidak ada kewajiban mutlak untuk menaatinya. Ketaatan kepada orang tua tidak berarti mengorbankan kebahagiaan dan keselamatan batin.
Baca juga: Sejarah Shalat dan Hikmah di Balik Waktu-Waktu Shalat
Umar bin Khaththab RA juga menegaskan bahwa cinta bukan satu-satunya pondasi rumah tangga.
“Tidak semua rumah tangga dibangun atas cinta, melainkan atas kehormatan dan Islam,” (Kanzul ‘Ummal, Beirut, 1989, Jilid XVI:783).
Pesan ini menegaskan pentingnya komitmen dan nilai-nilai agama sebagai dasar yang lebih kuat daripada sekadar rasa cinta yang fluktuatif.
Ma‘ruf: Fondasi Moral dalam Rumah Tangga
Al-Qur’an memerintahkan:
“Pergaulilah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang patut,” (QS. An-Nisa: 19).
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, makna ma‘ruf adalah berbuat baik, sopan, dan tidak menyakiti pasangan — baik ketika cinta masih membara maupun ketika mulai pudar. Sementara itu, Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya‘rawi menambahkan bahwa ma‘ruf merupakan bentuk komitmen moral yang lebih dalam dari sekadar cinta.
Baca juga: Hukum Mematikan HP Ketika Shalat: Batal atau Tidak ini Penjelasannya?
Dengan kata lain, cinta bisa datang dan pergi, tetapi ma‘ruf adalah niat untuk terus berbuat baik — inilah yang membuat rumah tangga bertahan dalam jangka panjang.
Kesimpulan: Menikah dengan Restu dan Kesadaran Diri
Berdasarkan kajian Bahtsul Masail ini, menikah demi berbakti kepada orang tua boleh saja, asalkan tidak mengorbankan kebahagiaan pribadi dan kesiapan hati. Jika hati belum siap, maka sebaiknya disampaikan dengan jujur dan penuh hormat kepada orang tua.
Berbakti tidak berarti meniadakan kehendak diri, tetapi mencari titik tengah antara ridha orang tua dan kesiapan pribadi. Umat Islam dianjurkan untuk berdoa dan melakukan istikharah agar Allah SWT memberikan petunjuk terbaik menuju keputusan yang membawa kebaikan dan maslahat bagi semua pihak.
Baca juga: Hukum Jual Jasa Kirim Doa atau Al-Fatihah dalam Islam: Antara Keikhlasan dan Kewajaran Upah
Karena pada akhirnya, pernikahan bukan hanya tentang siapa yang kita taati, tetapi bagaimana kita tumbuh bersama dalam ridha Allah SWT.
Penutup
Bahtsul Masail bukan sekadar forum diskusi hukum Islam, tetapi juga ruang edukatif yang membantu umat memahami masalah kehidupan dengan perspektif keilmuan, spiritualitas, dan kemanusiaan. Melalui pendekatan keilmuan para ulama, setiap keputusan hidup — termasuk urusan menikah — diharapkan tidak sekadar berdasarkan emosi, tetapi pada hikmah dan petunjuk Ilahi.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Baca juga: Tata Cara Sholat Jenazah: Hukum, Syarat, Rukun, Sunnah






















