Headline.co.id, Jogja ~ Universitas Gadjah Mada (UGM) terus memperkuat komitmennya untuk menjadi kampus yang inklusif bagi seluruh civitas akademika, termasuk penyandang disabilitas. Dalam upaya menciptakan lingkungan yang ramah dan inklusif, civitas akademika UGM diharapkan dapat memahami dan mendukung penyandang disabilitas di kampus. Pemahaman dan dukungan ini dapat diwujudkan dengan lebih peduli dan mengetahui etika yang tepat saat memberikan bantuan kepada penyandang disabilitas.
Wuri Handayani, S.E., Ak., M.Si., M.A., Ph.D, bersama Tim Unit Layanan Disabilitas UGM, menyampaikan hal tersebut saat menjadi pembicara dalam Pelatihan Kesadaran Disabilitas: Mewujudkan Lingkungan yang Setara dan Inklusif di Ruang Multimedia 1, Lantai 3, Gedung Pusat UGM, pada Rabu (19/11). “Pemahaman, pengetahuan, kepekaan, dan keterampilan ini sangat diperlukan. Kita dituntut untuk bisa berinteraksi dan melayani mereka, para penyandang disabilitas, sehingga mampu memberikan layanan yang inklusif,” ujarnya.
Dalam pelatihan tersebut, Wuri mengajak peserta untuk membaca UU No. 8 Tahun 2016 sebagai acuan dasar dalam memahami keberadaan penyandang disabilitas. UU tersebut mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai individu yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka panjang. Mereka disebut penyandang disabilitas karena ketika berinteraksi dengan lingkungan, mereka menghadapi hambatan sehingga tidak bisa berpartisipasi secara penuh dan efektif berdasarkan kesetaraan hak.
Wuri menjelaskan bahwa kondisi penyandang disabilitas saat ini cukup beragam, terbagi menjadi empat kategori utama yaitu disabilitas fisik, sensorik, mental, dan intelektual. Tingginya jumlah penyandang disabilitas ini disebabkan oleh kondisi yang tampak (visible disabilities) maupun tidak tampak (invisible disabilities). Bahkan di beberapa negara, seperti Inggris, memasukkan penyakit kronis seperti kanker atau diabetes sebagai kategori disabilitas. “Banyak orang juga tidak menyadari bila kondisi seperti stroke, autisme, ADHD, hingga neurodivergensi termasuk dalam kelompok disabilitas,” terangnya.
Pelatihan Kesadaran Disabilitas: Mewujudkan Lingkungan yang Setara dan Inklusif diselenggarakan sebagai pengingat bahwa keberagaman adalah bagian yang harus diharmonisasikan di lingkungan kampus. “Melalui peningkatan edukasi dan kesadaran, UGM diharapkan dapat terus membangun ekosistem yang ramah bagi siapa pun, sekaligus memastikan bahwa layanan kampus semakin inklusif, berbasis kesetaraan, dan berorientasi pada pemenuhan hak setiap individu,” tandas Wuri.
Sekretaris Universitas, Dr. Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, S.H., LL.M., menyatakan bahwa pelatihan untuk layanan disabilitas sebenarnya sudah menjadi bagian dari praktik pelayanan sehari-hari di UGM. Namun, untuk pelatihan kali ini, diakuinya, fokusnya adalah memperdalam pemahaman mengenai cara terbaik dalam melayani dan berinteraksi dengan teman-teman difabel. “Ini tentang bagaimana kita memperlakukan semua orang dalam posisi yang setara. Karenanya dalam kesempatan ini saya juga mengapresiasi seluruh unit kerja yang terus berupaya meningkatkan infrastruktur dan layanan. Meskipun diakui belum seluruh fasilitas kampus sempurna,” ungkapnya.





















