Gus Baha Ungkap Hikmah di Balik Tradisi Buka Puasa yang Fleksibel ~ Headline.co.id (Jakarta). Rais Syuriyah KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha mengungkapkan tradisi unik dalam buka puasa di keluarganya dan pesantrennya. Menurutnya, kebebasan memilih makanan halal menjadi bagian dari kebiasaan yang sudah berlangsung lama dalam lingkungan pesantren.
Baca juga: Menyelami Makna Ramadan: Ceramah Agama Edisi Khusus Bulan Suci yang Menginspirasi
Hal ini disampaikan Gus Baha dalam dialog bersama Prof. Muhammad Quraish Shihab dan Najwa Shihab yang disiarkan di kanal YouTube Najwa Shihab pada Senin (2/2/2025).
“Karena mereka para santri masih anak-anak, harus diservis dengan longgar, akhirnya orang tua juga ikut longgar. Longgar dalam maksud, mau makan apa saja boleh. Bukan longgar dalam arti makan berlebihan,” ujar Gus Baha.
Baca juga: Hukum Mengeluarkan Sperma Saat Puasa Ramadan: Tinjauan Ulama, Dasar Hukum, dan Konsekuensinya
Warisan dari Ayah dan Guru Besar
Gus Baha menjelaskan bahwa tradisi ini merupakan warisan dari ayahnya, KH Nursalim, serta gurunya, KH Maimoen Zubair. Menurutnya, orang-orang saleh memiliki pemahaman bahwa pilihan makanan apapun saat berbuka puasa tetap dikembalikan kepada Allah sehingga membuat hati menjadi tenang.
Selain itu, ada dampak sosial dari kelonggaran ini, yakni membantu para pedagang selama bulan Ramadan. “Di balik kelonggaran ada kearifan lain, yaitu bisa memakmurkan pedagang selama Ramadan karena ada pembeli dagangannya,” tuturnya.
Filosofi dalam Ushul Fiqih
Lebih lanjut, Gus Baha menjelaskan bahwa jika dipandang dari sudut ushul fiqih, tradisi kelonggaran dalam memilih makanan ini memiliki makna mendalam. Para ulama di Indonesia menyadari bahwa kehidupan dunia dipenuhi dengan potensi maksiat, sehingga salah satu bentuk perlawanan besar dari para kiai adalah membiasakan masyarakat untuk menikmati sesuatu yang halal.
“Tokoh agama dari pesantren dan para kiai itu longgar dalam bercanda, duduk santai, dan makan karena manusia berpotensi maksiat. Maka perlu membuat manusia nyaman hidup tanpa maksiat,” jelasnya.
Sebagai penguat, Gus Baha mengutip kisah dalam Kitab Bukhari tentang Nabi Ayub yang tetap mengambil banyak belalang emas meskipun telah dikaruniai kekayaan oleh Allah. Ketika ditegur Allah, Nabi Ayub menjawab bahwa dirinya tidak pernah merasa cukup dengan rahmat Allah.
Baca juga: Bacaan Doa Ramadan Hari ke-4: Memohon Rahmat dan Petunjuk dari Allah
Rasa Syukur dalam Berbuka
Selain itu, Gus Baha juga menekankan pentingnya perasaan rendah diri di hadapan Allah saat lapar dan bersyukur setelah kenyang. Hal ini sejalan dengan ajaran Rasulullah dalam hadits riwayat Imam Bukhari, yang menekankan pentingnya memuji Allah setelah makan sebagai bentuk rasa syukur.
“Seperti anjuran Rasulullah, ketika lapar, tadarru’ (merasa lemah) ila Allah, ketika kenyang maka bersyukur, memuji Allah,” pungkasnya.
Baca juga: Doa Ramadan Hari ke-3: Memohon Kekuatan Ibadah dan Penyucian Hati





















