Mutiara Headline
banner 325x300
Kirim Berita Suara Pembaca
BeritaNasionalPemerintah

Ignasius Jonan Disebut Kasus Suap PLTU Riau, KPK Tunggu JPU untuk Periksa

261
×

Ignasius Jonan Disebut Kasus Suap PLTU Riau, KPK Tunggu JPU untuk Periksa

Sebarkan artikel ini
Jonan Disebut Memberi Uang Kepada Eni Maulani Saragih
Ignasius Jonan Disebut Memberi Uang Kepada Eni Maulani Saragih melalui Hadi Mustafa Juraid usai memimpin rapat di Komisi VII DPR RI.

Headline.co.id (Jakarta) ~ Terdakwa kasus dugaan suap dalam kerja sama pembangunan PLTU Riau-1, Eni Maulani Saragih telah mengaku pernah mendapat kiriman amplop dari Menteri Ignasius Jonan.

Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI tersebut mengaku menerima uang sebesar 10 Ribu dolar Singapura dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ia mengaku bahwa uang itu diterima dalam amplop yang diberikan melalui staf Jonan bernama Hadi Mustafa Juraid usai memimpin rapat di Komisi VII DPR RI.

“Saya terima amplop itu dari Pak Jonan, dari stafnya pak Jonan. Amplopnya masih utuh sebenarnya, sebesar 10 ribu dolar Singapura.”
kata Eni kepada Jaksa KPK di Pengadilan Tipikor, Selasa (22/1/2019).

Eni mengungkapkan penerimaan uang dari Jonan tersebut setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) menanyakan perihal uang sebanyak 10 dolar Singapura tersebut. Namun Eni tidak tahu alasan pemberian itu, Hadi hanya mengatakan uang itu untuk kegiatan di daerah pemilihan (Dapil).

Seusai amplop tersebut dibuka oleh penyidik, Eni hendak mengembalikan uang tersebut berserta amplopnya ke Jonan. Namun, hal tersebut dicegah oleh penyidik, dan disarankan untuk mentransfer. Saat ini tersebut sudah ada di KPK sebagai barang bukti.

Baca juga : Eni Saragih Seret Ignasius Jonan Dalam Kasus Suap PLTU Riau

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum membuat agenda untuk melakukan pemeriksaan kepada Menteri ESDM Ignasiun Jonan tersebut. KPK masih menunggu langkah dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam pembuktian perkara kasus suap PLTU Riau-1.

“Itu domain jaksa penuntut umum nanti untuk menimbang apakah dibutuhkan saksi-saksi yang lain untuk kebutuhan pembuktian,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (22/1/2019).

Febri mengatakan, KPK perlu mengklarifikasi pihak-pihak pemberi. Ia mengingatkan, Eni didakwa atas dua hal, yakni gratifikasi dan suap.  Dalam kasus suap, pembuktian akan menekankan perbuatan pemberi dan penerima sekaligus pihak-pihak yang terkait.

Dalam kasus ini, Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI tersebut didakwa telah menerima suap sebesar Rp4,75 miliar dari Johannes B Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources, Ltd. Uang tersebut diberikan agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU Riau-1. Rencananya, proyek itu akan dikerjakan oleh konsorsium yang terdiri dari Blackgold Natural Resources, PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi, dan China Huadian Engineering Compant Ltd (CHEC, Ltd). 

Jaksa juga mendakwa istri Bupati Temanggung itu dengan pidana gratifikasi. KPK mengungkap total eni menerima uang sebesar Rp 5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura. Uang itu berasal dari sejumlah direktur perusahaan migas, antara lain dari Direktur PT Smelting Prihado Santoso (Rp 250 juta); Direktur PT One Connect Indonesia Herwin Tanuwidjaja (Rp 100 juta & 40 ribu dolar Singapura); Pemilik PT Borneo Lumbung Energi Samin Tan (Rp 5 miliar); dan Presdir PT Isargas (250 juta). Jaksa mengatakan seluruh uang yang diterima digunakan untuk kepentingan Pilkada 2018 suami Eni Saragih, yakni M. Al Khadziq. Saat itu Al-Khadziq jadi calon Bupati Temanggung.

Atas suap yang diterima, Jaksa mendakwa Eni dengan Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. 

Sementara atas gratifikasi yang ia terima, jaksa mendakwa Eni telah melanggar Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *