Headline.co.id, Jakarta ~ Rencana penerapan sistem biometrik untuk registrasi e-SIM card menarik perhatian para ahli keamanan siber. Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, menilai bahwa kebijakan ini dapat berdampak signifikan terhadap keamanan nasional dan privasi individu jika tidak didukung oleh tata kelola data yang baik.
Pratama menjelaskan bahwa penggunaan biometrik dapat mengurangi penyalahgunaan nomor telepon, seperti penipuan, SIM swapping, dan kejahatan siber lainnya yang memanfaatkan identitas anonim. Namun, ia menekankan bahwa data biometrik sangat sensitif karena bersifat permanen dan tidak dapat diganti jika terjadi kebocoran. “Strategi ini hanya efektif jika data biometrik benar-benar dijaga dan diproses dengan standar keamanan tertinggi. Kebocoran biometrik berarti kebocoran identitas permanen,” ujar Pratama kepada .id pada Sabtu (29/11/2025).
Pratama menyoroti banyaknya insiden kebocoran data di sektor publik dan swasta sebagai indikasi bahwa Indonesia belum memiliki sistem perlindungan data yang kuat dan terpusat. Ia menekankan pentingnya pembentukan Badan Perlindungan Data Pribadi (Badan PDP) sebagai langkah krusial yang harus segera diwujudkan pemerintah. Tanpa lembaga independen tersebut, jaminan keamanan hanya bergantung pada komitmen masing-masing instansi. “Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan seperti itu tidak cukup untuk mencegah kebocoran berskala besar,” tambahnya.
Lebih lanjut, Pratama menjelaskan bahwa perlindungan data biometrik membutuhkan arsitektur keamanan yang lebih canggih dibandingkan identitas digital biasa. Template biometrik harus dienkripsi dengan skema yang tidak dapat dibalik, proses verifikasi harus dilakukan dalam lingkungan terisolasi, dan pemrosesan sebaiknya dilakukan secara lokal di perangkat untuk meminimalkan transfer data. “Semua proses tersebut memerlukan standar nasional yang baku, audit eksternal berkala, dan pengawasan ketat oleh Badan PDP,” jelasnya.
Pratama juga mengingatkan bahwa penggunaan biometrik dapat mempersulit akses masyarakat rentan terhadap layanan telekomunikasi, seperti warga di daerah terpencil, lansia, penyandang disabilitas, atau mereka yang tidak memiliki dokumen kependudukan lengkap. Keterbatasan perangkat pemindai atau kualitas jaringan dapat menyebabkan verifikasi biometrik gagal, sehingga warga kehilangan akses. Menurut Pratama, Badan PDP perlu memastikan bahwa aspek inklusivitas, keadilan, dan non-diskriminasi menjadi bagian dari desain kebijakan.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan ini akan melibatkan Kominfo, BSSN, Dukcapil, operator seluler, hingga penyedia teknologi biometrik. Pratama menyoroti masih adanya tumpang tindih kewenangan dan minimnya mekanisme pertanggungjawaban ketika terjadi insiden keamanan. “Badan PDP dapat menjadi penjaga ekosistem yang memastikan setiap entitas berada dalam alur regulasi yang konsisten, termasuk kewajiban pelaporan insiden dan audit kepatuhan,” ujarnya.
Pratama juga memperingatkan risiko function creep — penggunaan data biometrik untuk tujuan lain di luar registrasi e-SIM, seperti profiling atau pemantauan aktivitas digital warga. “Tanpa pengawasan independen, risiko penyalahgunaan itu akan sangat besar,” tegasnya. Pratama menilai kebijakan registrasi e-SIM berbasis biometrik dapat menjadi langkah positif jika sistem perlindungan datanya diperkuat terlebih dahulu. Namun, jika dipaksakan tanpa kehadiran Badan PDP yang independen, kebijakan tersebut justru berpotensi menimbulkan risiko keamanan dan privasi yang jauh lebih besar dibanding manfaatnya.























