Headline.co.id (Jakarta) ~ Fenomena jasa kirim doa dan Al-Fatihah berbayar belakangan menjadi sorotan publik. Seorang ustadz di media sosial diketahui menawarkan layanan doa dengan tarif yang terus meningkat, menimbulkan pertanyaan: apakah pantas jasa keagamaan diperjualbelikan? Pertanyaan ini kemudian menjadi bahan diskusi penting dalam konteks Bahtsul Masail—forum kajian hukum Islam—karena menyentuh nilai keikhlasan dalam ibadah dan prinsip penghargaan terhadap ilmu serta tenaga seorang ustadz.
Contents
- 1 You might also like
- 2 Mensos Gus Ipul: Pemerintah Pertimbangkan B.J. Habibie Jadi Pahlawan Nasional
- 3 BPKH dan MUI Perkuat Literasi Keuangan Haji Lewat 4.000 Dai Standar Nasional
- 4 Landasan Hukum Islam: Upah Atas Jasa Keagamaan Diperbolehkan
- 5 Perspektif Bahtsul Masail: Antara Kewajaran dan Keikhlasan
- 6 Empat Kesimpulan Penting dalam Hukum Upah Keagamaan
- 7 Menjaga Keikhlasan dalam Layanan Keagamaan
- 8 Sikap Bijak bagi Umat dan Ulama
- 9 Kesimpulan
Kasus ini menggugah publik, terutama karena praktik serupa sebenarnya sudah lama terjadi di masyarakat, seperti pemberian uang atau makanan kepada pembaca doa, qari/qariah, hingga penceramah. Lalu, bagaimana sebenarnya hukum Islam memandang praktik ini?
Baca juga: Hukum Transaksi Jual Beli Online di Masjid: Antara Etika Ibadah dan Kebutuhan Digital Umat
Landasan Hukum Islam: Upah Atas Jasa Keagamaan Diperbolehkan
Dalam penjelasan para ulama yang dikutip dari sumber Fatawa Syar’iyyah Mu’ashirah karya Muhammad Ibrahim Al-Hafnawi (Darul Hadits, 2012/1433 H), Islam tidak melarang pemberian upah kepada mereka yang memberikan jasa keagamaan, seperti membaca doa, mengajar Al-Qur’an, atau melantunkan ayat suci pada acara tertentu.
Hal ini didasarkan pada hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim tentang para sahabat Nabi yang melakukan ruqyahterhadap kepala suku yang tersengat hewan berbisa. Setelah sembuh, mereka diberi hadiah berupa kambing. Para sahabat sempat ragu menerima pemberian tersebut hingga akhirnya Rasulullah ﷺ tersenyum dan bersabda agar mereka menerimanya, menandakan kebolehan menerima upah dari jasa keagamaan.
Baca juga: Makna Sejati Tawakal: Islam Ajarkan Keseimbangan Antara Takdir dan Ikhtiar
Rasulullah juga bersabda:
“Sungguh yang paling layak untuk kalian ambil upah ialah (jasa membacakan atau mengajarkan) Al-Qur’an.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, menerima imbalan atas jasa keagamaan bukanlah hal terlarang selama dilakukan dalam batas kewajaran dan tanpa unsur paksaan.
Perspektif Bahtsul Masail: Antara Kewajaran dan Keikhlasan
Dalam Bahtsul Masail, prinsip keseimbangan antara keikhlasan dan penghargaan terhadap jasa keagamaan menjadi hal yang ditekankan. Islam mengajarkan bahwa setiap amal ibadah harus dilandasi niat ikhlas karena Allah. Namun, pada sisi lain, Islam juga mengakui adanya nilai ekonomi dari waktu, tenaga, dan ilmu yang diberikan seseorang untuk kemaslahatan umat.
Baca juga: 10 Contoh Mukadimah Pidato Maulid Nabi SAW 2025, Lengkap Arab, Latin, dan Terjemahan
Muhammad Ibrahim Al-Hafnawi menegaskan:
“Tidak ada dosa bagi seorang qari atau qariah menerima upah atas jasanya. Namun berlebihan dalam mengambil upah merupakan perbuatan tidak terpuji.”
Artinya, menerima upah adalah boleh, tetapi mematok harga tinggi untuk doa atau bacaan Al-Qur’an dianggap tercela. Sebab, hal tersebut berpotensi mengaburkan niat ibadah menjadi orientasi duniawi.
Baca juga: Sejarah dan Bacaan Maulid Simtudduror, Sholawat Pujian Nabi Muhammad SAW
Empat Kesimpulan Penting dalam Hukum Upah Keagamaan
Berdasarkan pandangan para ulama dan hasil kajian hukum Islam, dapat ditarik empat kesimpulan penting mengenai praktik jual jasa doa atau Al-Fatihah:
- Memberi Upah Secara Sukarela
Memberikan uang atau makanan kepada ustadz, qari/qariah, atau penceramah atas jasanya diperbolehkan sebagai bentuk penghargaan, bukan sebagai transaksi komersial. - Bentuk Penghormatan dan Jamuan
Pemberian upah dalam bentuk jamuan atau amplop merupakan bagian dari adab dan penghormatan kepada tamu undangan yang telah meluangkan waktu dan tenaga. - Batas Kewajaran dalam Penerimaan Upah
Ustadz atau qari boleh menerima upah sesuai kemampuan pemberi, tanpa menentukan tarif berlebihan yang bertentangan dengan etika dan kesopanan sosial. - Larangan Meminta Upah Berlebihan
Menentukan harga tinggi atau menjadikan jasa doa sebagai sumber penghasilan komersial adalah perbuatan tercela menurut syariat, akal sehat, dan norma kepantasan masyarakat.
Baca juga: Doa Sholat Taubat: Memohon Ampunan dan Kembali ke Jalan Allah
Menjaga Keikhlasan dalam Layanan Keagamaan
Bahtsul Masail menekankan bahwa setiap ustadz dan ustadzah hendaknya menjaga niat keikhlasan dalam setiap aktivitas dakwah dan ibadah. Keikhlasan menjadi nilai utama yang membedakan antara ibadah dan bisnis. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa amal akan diterima jika dilakukan karena Allah, bukan karena pamrih dunia.
Namun, umat Islam juga diingatkan agar menghargai jerih payah para ustadz, qari, dan pengajar agama. Memberikan kompensasi yang wajar merupakan bentuk penghormatan terhadap ilmu dan waktu mereka, sebagaimana sabda Nabi bahwa “yang paling layak untuk diambil upah ialah jasa mengajarkan Al-Qur’an.”
Sikap Bijak bagi Umat dan Ulama
Praktik kirim doa, khataman, atau bacaan Al-Fatihah dengan imbalan tidak bisa serta-merta dikategorikan sebagai jual beli ibadah. Selama dilakukan dengan niat baik dan tidak berlebihan, hal itu sah menurut syariat. Namun, masyarakat harus waspada terhadap praktik komersialisasi agama yang dapat menodai nilai kesucian ibadah.
Bahtsul Masail mengajarkan keseimbangan antara ukhuwah (persaudaraan) dan ihsan (keikhlasan). Bagi para ustadz, menjaga adab dan tidak serakah adalah kunci kepercayaan umat. Sementara bagi masyarakat, memberikan penghargaan yang layak kepada para pengajar agama adalah bentuk tanggung jawab moral dan sosial.
Baca juga: Membongkar Kunci Rahasia, Doa Husnul Khatimah dalam Keseharian Umat Islam
Kesimpulan
Hukum jual jasa kirim doa atau Al-Fatihah dalam Islam pada dasarnya diperbolehkan, selama dilakukan dengan ikhlas, tanpa paksaan, dan dalam batas kewajaran. Islam menolak praktik mematok tarif tinggi yang menjadikan ibadah sebagai komoditas.
Melalui pendekatan Bahtsul Masail, umat diingatkan untuk memahami bahwa nilai utama dalam setiap amal adalah keikhlasan, bukan nominal. Ustadz dan masyarakat perlu saling menghormati: satu pihak menjaga niat ibadahnya, pihak lain menghargai jasa dan pengorbanan dengan pemberian yang pantas.
Sebagaimana disimpulkan oleh para ulama:
“Menerima upah atas bacaan atau tahfizh Al-Qur’an tidak masalah, namun berlebihan dalam mengambil upah adalah sesuatu yang dibenci dan menjijikkan.” Al-Hafnawi, 2012 M/1433 H: 610).
Dengan demikian, keseimbangan antara keikhlasan dan penghargaan menjadi kunci dalam memahami hukum jual jasa doa atau Al-Fatihah di era modern saat ini.
Baca juga: Doa Mandi Wajib Setelah Berhubungan badan Suami Istri Sesuai Sunah




















