Headline.co.id (Jakarta) ~ Dalam era digital yang serba cepat, aktivitas jual beli kini bisa dilakukan di mana saja, termasuk di dalam masjid. Namun, bagaimana hukum Islam memandang transaksi jual beli online ketika dilakukan di tempat ibadah? Pertanyaan inilah yang diajukan oleh Budi, seorang jamaah asal Cianjur yang kini tinggal di Jakarta, dalam forum Bahtsul Masail— sebuah forum kajian keislaman yang membahas persoalan fiqih kontemporer.
Contents
- 0.1 You might also like
- 0.2 Mensos Gus Ipul: Pemerintah Pertimbangkan B.J. Habibie Jadi Pahlawan Nasional
- 0.3 BPKH dan MUI Perkuat Literasi Keuangan Haji Lewat 4.000 Dai Standar Nasional
- 1 Dasar Hukum Larangan Jual Beli di Masjid
- 2 Hadis Langsung tentang Larangan Jual Beli di Masjid
- 3 Transaksi Digital dan Konteks Kekinian
- 4 Kesimpulan: Antara Etika, Ibadah, dan Kebutuhan Modern
Pertanyaan Budi mencerminkan kegelisahan umat Islam di era digital: apakah melakukan transaksi melalui ponsel di masjid, seperti memesan makanan, ojek online, atau membayar tagihan, termasuk dalam larangan syariat?
Baca juga: Sholawat Tibbil Qulub Lengkap Dan Artinya dan Manfaat Obat Segala Penyakit
Dasar Hukum Larangan Jual Beli di Masjid
Secara umum, jual beli merupakan praktik yang diperbolehkan dalam Islam karena menjadi kebutuhan manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya. Namun, permasalahan muncul ketika aktivitas tersebut dilakukan di masjid — tempat yang suci dan dikhususkan untuk beribadah.
Berdasarkan hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa saja yang mendengar seseorang (teriak) di masjid mencari ternaknya yang kabur, hendaklah ia menegurnya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan ternakmu,’ karena masjid tidak dibangun untuk itu.” (HR Muslim)
Baca juga: Text Lirik Sholawat Ya Allah Biha Lengkap Arab Latin dan Artinya
Dari hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa masjid bukan tempat untuk aktivitas duniawi, termasuk jual beli atau mencari barang yang hilang. Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj fi Syarhi Shahih Muslim Ibnil Hajjaj menegaskan bahwa larangan tersebut mencakup segala bentuk aktivitas yang bersifat duniawi seperti jual beli, sewa-menyewa, dan transaksi lainnya yang mengganggu kekhusyukan ibadah.
Beliau menulis:
“Larangan mencari ternak hilang di masjid mencakup aktivitas duniawi yang serupa seperti jual beli, sewa, dan transaksi lainnya; serta kemakruhan mengeraskan suara di dalam masjid.” (Juz III, hal. 60-61)
Hadis Langsung tentang Larangan Jual Beli di Masjid
Selain hadis riwayat Muslim, ada pula hadis lain yang secara eksplisit melarang jual beli di masjid. Rasulullah SAW bersabda:
“Jika kalian melihat orang menjual atau membeli di masjid, hendaklah kalian menegurnya, ‘Semoga Allah tidak menguntungkan transaksimu.’” (HR At-Tirmidzi dan An-Nasa’i)
Hadis ini menegaskan bahwa larangan tersebut bersifat etis, bukan hanya hukum formal. Artinya, tujuan utama larangan ini adalah menjaga kesucian dan ketenangan masjid dari kegiatan yang tidak relevan dengan ibadah.
Baca juga: Lirik dan Chord Sholawat Saduna Fidunya Lengkap Arti, Arab, Latin dan Sejarahnya
Dalam Ibanatul Ahkam, Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Syekh Alwi Abbas Maliki menjelaskan:
“Masjid dibangun untuk menyebut asma Allah dan saling mengingatkan dalam kebaikan karena masjid ialah rumah-Nya. Oleh karena itu, tidak boleh dilakukan jual beli atau mencari ternak yang hilang di dalamnya, meski jual belinya tetap sah.” (Juz I, hal. 269)
Dengan demikian, jual beli di masjid hukumnya makruh, bukan batal. Transaksinya sah secara syariat, tetapi pelakunya dianggap melanggar etika masjid.
Transaksi Digital dan Konteks Kekinian
Seiring berkembangnya teknologi, muncul pertanyaan baru: apakah larangan tersebut juga berlaku untuk transaksi digital yang dilakukan melalui ponsel?
Dalam konteks ini, para ulama menilai bahwa transaksi digital berbeda dari praktik jual beli konvensional. Transaksi digital tidak menimbulkan keributan, tidak mengganggu jamaah lain, dan tidak mencederai kehormatan masjid sebagaimana orang yang berteriak menjajakan dagangan.
Baca juga: Lirik Lagu Sholawat Qomarun Sindan Nabi Arab Latin dan Artinya
Aktivitas seperti memesan ojek online, membayar zakat via aplikasi, atau mentransfer donasi lebih bersifat sunyi dan tertib. Maka, aktivitas semacam ini dapat ditoleransi selama dilakukan dengan adab yang baik dan tidak mengganggu kekhusyukan ibadah.
Selain itu, masjid masa kini umumnya memiliki pembagian ruang, seperti ruang utama untuk ibadah dan ruang teras atau halaman yang berfungsi sebagai area serbaguna. Ruang teras ini biasanya digunakan untuk istirahat, menunggu teman, hingga titik pertemuan ojek online.
Dalam kondisi demikian, transaksi digital yang singkat seperti memesan ojek atau mengonfirmasi pembayaran diperbolehkan di area teras masjid, selama tidak dilakukan di ruang utama dan tidak menimbulkan gangguan bagi jamaah lain.
Baca juga: Text Sholawat Walisongo: Lirik Syair Wali Songo yang Menginspirasi
Kesimpulan: Antara Etika, Ibadah, dan Kebutuhan Modern
Dari kajian Bahtsul Masail ini dapat disimpulkan bahwa:
- Hukum jual beli di masjid secara umum adalah makruh, bukan haram mutlak, selama memenuhi syarat jual beli yang sah.
- Larangan utamanya bersifat etika dan penghormatan terhadap kesucian masjid.
- Transaksi digital tidak termasuk dalam larangan langsung, karena tidak mengandung unsur keributan atau gangguan terhadap kegiatan ibadah.
- Disarankan untuk melakukan transaksi digital di area teras atau luar ruang utama masjid sebagai bentuk penghormatan terhadap tempat ibadah.
Dengan pemahaman ini, umat Islam diharapkan dapat menyeimbangkan antara etika beribadah dan kebutuhan praktis di era digital, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap kesucian rumah Allah.
Sebagaimana disampaikan dalam jawaban Bahtsul Masail, “Kami menyarankan agar transaksi digital seperti order jasa ojek online, kalau pun terpaksa dilakukan, sebaiknya di ruang teras masjid agar tidak mengganggu jamaah yang sedang beribadah.”
Sikap bijak dan pemahaman kontekstual terhadap hukum Islam akan membuat umat mampu menapaki kehidupan modern tanpa melanggar nilai-nilai syariat dan adab terhadap tempat ibadah.
Baca juga: Dasar Hukum dan Keutamaan Sholawat Nariyah sebagai Amalan Orang Nahdliyyin




















