Headline.co.id, Bone ~ Kota Gorontalo mengalami fenomena urban sprawl akibat pesatnya pembangunan yang meluas ke wilayah sekitarnya. Empat kecamatan di luar batas kota, yaitu Kecamatan Telaga dan Tilango di Kabupaten Gorontalo, serta Kecamatan Tapa dan Kabila di Bone Bolango, merasakan dampaknya. Hal ini dipicu oleh tingginya kepadatan penduduk di ibu kota Provinsi Gorontalo, yang mencapai 2.589 jiwa per kilometer persegi, jauh lebih tinggi dibandingkan Kota Palu yang hanya 954 jiwa/km².
Fenomena ini dibahas dalam diskusi kelompok terpumpun di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) pada Kamis, 6 November 2025, yang mengangkat penelitian berjudul “Urgensi Penataan Kembali Wilayah Aglomerasi Kota Gorontalo”. Ketua Tim Peneliti, Prof. Dr. Syarwani Canon, menjelaskan bahwa sejak menjadi ibu kota provinsi pada 2001, Kota Gorontalo mengalami perubahan lanskap signifikan. Kawasan pertanian seperti Huangobotu, Tomulabutao, dan Wongkaditi kini berubah menjadi kompleks perumahan dan perkantoran.
Urban sprawl ini menimbulkan inefisiensi aglomerasi, yang seharusnya meningkatkan efisiensi biaya dan produktivitas. Namun, di Gorontalo, keterbatasan lahan dan fragmentasi tata ruang dapat menyebabkan distorsi, segregasi sosial-ekonomi, memperlebar kesenjangan antarwilayah, dan melemahkan kohesi sosial. Dampak nyata lainnya adalah konversi lahan pertanian yang masif, dengan penurunan luas sawah di Kota Gorontalo mencapai 144,28 hektar.
Di wilayah penyangga, seperti Kabupaten Bone Bolango, Kecamatan Kabila kehilangan 22,83 hektar sawah untuk permukiman, sementara di Kabupaten Gorontalo, Limboto dan Tabongo masing-masing menyusut 43,68 dan 49,56 hektar. Perubahan ini menunjukkan bahwa Kota Gorontalo akan beralih dari kota agraris menjadi kota yang mengandalkan sektor jasa dan perdagangan. Penelitian juga memproyeksikan dominasi sektor non-pertanian dalam urbanisasi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan per kapita, meskipun peran sektor pertanian menurun.
Secara sosial-ekonomi, masyarakat di wilayah aglomerasi mengakui adanya peningkatan aktivitas dan kualitas infrastruktur. Namun, ketergantungan Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango terhadap fasilitas layanan publik di Kota Gorontalo masih tinggi. Pelaku usaha di wilayah penyangga menikmati manfaat dari konektivitas ekonomi yang menguat, tetapi tetap bergantung pada fasilitas di pusat kota.
Para peneliti dan tokoh masyarakat menekankan bahwa perkembangan aglomerasi mempercepat pertumbuhan regional, namun juga menimbulkan tekanan pada ruang yang memerlukan tata kelola dan kerja sama lintas wilayah yang lebih efektif.














