Apakah Musafir Boleh Tidak Puasa? Inilah Ketentuan dan Panduan Lengkap Sesuai Syariat Islam ~ Headline.co.id (Jakarta). Di tengah dinamika ibadah puasa di bulan Ramadan, muncul pertanyaan seputar kewajiban puasa bagi musafir (orang yang sedang dalam perjalanan). Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ” yang artinya “barang siapa di antara kamu sedang sakit atau dalam perjalanan…” (QS. Al-Baqarah: 184), maka bagi mereka yang sedang musafir, puasa tidak diwajibkan. Namun, ketentuan ini memiliki rincian dan syarat-syarat tertentu yang harus dipahami agar amal ibadah terlaksana dengan baik dan benar menurut syariat Islam.
Baca juga: Keutamaan Membaca Doa Ramadhan Hari ke-29: Sebagai Pembersihan Jiwa Menuju Lebaran
Secara prinsip, musafir diperbolehkan untuk tidak berpuasa apabila kondisi perjalanan membuatnya merasa berat atau berpotensi membahayakan kesehatan. Dilansir Headline Media dari kanal YouTube Sofyan Chalid bin Idham Ruray pada Kamis (27/3), dalam praktiknya, terdapat tiga keadaan utama di mana seorang musafir boleh memilih untuk berbuka puasa:
Fisik Terlalu Berat: Jika saat berpuasa, musafir merasa bahwa beban perjalanan sangat berat sehingga berpotensi menimbulkan kelelahan atau bahkan bahaya bagi kesehatannya, maka lebih baik ia berbuka dan mengganti puasa di hari lain.
Baca juga: Zakat Fitrah: Panduan Lengkap Niat dan Tata Cara untuk Diri Sendiri, Keluarga, dan Orang Lain
Kondisi Perjalanan yang Mengancam: Apabila perjalanan ditempuh dalam kondisi ekstrem, seperti terik matahari yang menyengat, jalan yang sangat berat, atau cuaca yang tidak mendukung sehingga puasa berpotensi mengganggu kestabilan fisik, maka musafir diwajibkan untuk berbuka demi keselamatan.
Kondisi Netral: Jika meskipun sedang dalam perjalanan, musafir tidak merasa terbebani dan puasa tidak memberikan dampak negatif pada kesehatannya, ia boleh memilih untuk tetap berpuasa. Namun, kebanyakan ulama menilai bahwa jika tidak ada beban, lebih utama untuk tetap menjalankan puasa karena hal tersebut akan lebih memudahkan pelaksanaan ibadah dan pengumpulan pahala di bulan Ramadan.
Baca juga: Perbedaan Metode Penentuan Lebaran Idul Fitri: Muhammadiyah vs NU
Syarat Penting Musafir Boleh Tidak Berpuasa
Meski demikian, para ulama juga menekankan bahwa keputusan untuk tidak berpuasa karena dalam keadaan musafir harus didasari oleh empat syarat penting agar tidak terjadi penyalahgunaan keringanan yang diberikan Allah Ta’ala:
Jarak Perjalanan: Syarat pertama adalah jarak tempuh yang ditempuh harus mencapai batas minimal safar. Mayoritas ulama menetapkan bahwa jarak tersebut sekitar 80 kilometer. Apabila jarak perjalanan belum mencapai batas ini, maka seseorang tetap diwajibkan untuk berpuasa.
Tujuan Safar yang Mubah: Tujuan perjalanan harus untuk sesuatu yang halal atau mubah. Jika perjalanan dilakukan untuk kegiatan yang bertentangan dengan syariat atau untuk tujuan yang tidak dibenarkan, maka keringanan untuk tidak berpuasa tidak berlaku. Misalnya, seseorang tidak boleh menggunakan status musafir untuk melakukan perbuatan maksiat.
Niat yang Tulus: Musafir tidak boleh sengaja menunda atau meninggalkan puasa hanya semata-mata untuk mencari keringanan. Niat harus tetap jelas bahwa tujuan utama perjalanan bukanlah untuk mendapatkan keringanan puasa, melainkan karena keadaan yang memaksa. Hal ini mencegah terjadinya penipuan terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh Allah.
Kesiapan Berangkat: Seseorang harus sudah dalam kondisi siap berangkat. Jika seseorang hanya berencana untuk melakukan perjalanan namun belum benar-benar berangkat, maka ia tetap diwajibkan untuk berpuasa. Keringanan hanya dapat diambil ketika keberangkatan sudah pasti dan perjalanan telah dimulai.
Selain syarat-syarat di atas, para ulama juga mengingatkan bahwa meskipun seorang musafir dibolehkan untuk berbuka, sebaiknya ia tetap mempertimbangkan kondisi fisik dan keuntungan dari menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Hal ini dikarenakan puasa tidak hanya berfungsi sebagai ibadah fisik, melainkan juga sebagai sarana penyucian jiwa, peningkatan kesabaran, dan pengendalian diri. Dalam hal ini, puasa tetap merupakan ibadah yang mendatangkan pahala besar apabila dilaksanakan dengan penuh keikhlasan, meskipun harus diganti di hari lain bagi musafir.
Baca juga: Doa Ramadhan Hari ke-27: Keutamaan dan Makna Mendalam untuk Mendapatkan Keistimewaan Lailatul Qadar
Pada akhirnya, keputusan untuk berbuka puasa saat musafir harus disesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan, disertai dengan pertimbangan yang matang agar tidak terjadi penyelewengan terhadap prinsip-prinsip ibadah puasa. Pendekatan yang adil dan bijak dalam menetapkan apakah seseorang layak mendapatkan keringanan ini merupakan wujud kepatuhan terhadap syariat dan juga menjaga kesejahteraan umat.
Dengan demikian, meskipun musafir diberi keringanan untuk tidak berpuasa, hakikatnya ia tetap harus mengganti puasa tersebut di hari lain. Pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa, jika kondisi memungkinkan, tetap berpuasa di bulan Ramadan akan lebih mudah dan mendatangkan pahala yang lebih besar. Seluruh panduan dan tata cara ini disusun agar umat Islam dapat melaksanakan ibadah puasa dengan benar, tertib, dan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syariat Islam.



















