Headline.co.id, Jakarta ~ Isu halal kini telah berkembang menjadi lebih dari sekadar simbol keagamaan, melainkan telah menjadi standar global yang penting untuk perlindungan konsumen dan penggerak ekonomi nasional. Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Ahmad Haikal Hasan, dalam acara Wajib Halal 2026 yang diselenggarakan di Jakarta pada Selasa (23/12/2025).
Ahmad Haikal Hasan menjelaskan potensi besar ekonomi halal di Indonesia. Saat ini, nilai transaksi halal global mencapai sekitar Rp20.000 triliun, sementara kontribusi ekspor Indonesia baru mencapai sekitar Rp680 triliun. “Yang kita kejar bukan hanya ekspor, tapi standar. Halal itu standar global, bukan sekadar label,” ujar Haikal.
Haikal yakin bahwa penerapan sertifikat halal secara penuh pada Oktober 2026 akan meningkatkan kepercayaan konsumen dan membuka akses pasar internasional yang lebih luas. “Begitu produk kita halal, kita bisa kirim ke mana saja. Halal itu paspor global,” katanya. Selain itu, sertifikasi halal juga berfungsi sebagai penghalang masuk bagi produk asing, di mana produk impor yang masuk ke Indonesia harus memenuhi standar yang sama. “Kalau mau masuk ke Indonesia, ikuti standar Indonesia. Ini bukan proteksi berlebihan, tapi perlindungan konsumen,” tegasnya.
BPJPH juga menyoroti pentingnya dukungan terhadap UMKM, terutama di sektor kuliner rakyat seperti warung kopi, warung nasi, soto, rawon, asinan, hingga usaha kaki lima. Pemerintah menyediakan program sertifikasi halal gratis dengan kuota senilai Rp1,35 juta per pelaku UMKM, yang didanai langsung oleh negara. “Dulu bayar, sekarang gratis. Ini arahan Presiden Prabowo untuk UMKM,” kata Haikal.
Hingga saat ini, BPJPH telah menerbitkan lebih dari 10,8 juta sertifikat halal, mayoritas berasal dari UMKM, dan jumlah ini terus bertambah setiap harinya. Haikal menyebut ekosistem halal sebagai salah satu mesin pertumbuhan ekonomi nasional, dengan target kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. “Halal itu bukan beban regulasi. Ini peluang ekonomi,” ujarnya.
Menurut Haikal, nilai halal mencakup keamanan, kebersihan, kredibilitas, dan kepercayaan, yang semuanya berdampak langsung pada daya saing produk Indonesia. Untuk mempercepat layanan, BPJPH kini mengembangkan sistem berbasis Artificial Intelligence (AI) yang memungkinkan masyarakat cukup memotret kemasan produk untuk mengetahui status halal atau non-halal. “Tidak perlu ketik. Foto saja, sistem membaca, langsung keluar informasinya,” jelas Haikal.
Teknologi ini terhubung dengan database nasional dan dapat digunakan di minimarket hingga pusat perbelanjaan, sehingga memudahkan konsumen dalam waktu singkat. BPJPH juga mencatat telah memiliki lebih dari 110 ribu pendamping halal yang menjadi ujung tombak pembinaan UMKM. Selain itu, pemerintah terus memperbanyak Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan auditor untuk menjaga kualitas sertifikasi. “Kalau mau ekonomi halal jalan, ekosistemnya harus kuat,” katanya.
Menariknya, Kepala BPJPH mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen perputaran uang masih terjadi di pasar rakyat dan warung tradisional, sementara supermarket hanya menyumbang sekitar 10 persen. “Ekonomi itu hidupnya di warung, di pasar. Di situlah halal harus hadir,” ujarnya.
Menutup paparannya, Ahmad Haikal Hasan menegaskan bahwa Wajib Halal 2026 bukan semata regulasi, melainkan strategi besar membangun ekonomi nasional yang berdaya saing global dan berpihak pada rakyat. “Kalau halal jalan, ekonomi jalan. Dan yang paling penting, rakyat terlindungi,” pungkasnya.








