Headline.co.id, Jakarta ~ Tren penurunan angka perkawinan anak di Indonesia terlihat pada tahun 2024, dengan data nasional menunjukkan penurunan dari 6,92 persen pada 2023 menjadi 5,90 persen pada 2024. Meskipun demikian, perkawinan anak yang tidak tercatat masih menjadi tantangan besar dalam upaya perlindungan hak anak di Indonesia.
Hal ini diungkapkan oleh Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Pemenuhan Hak Anak Wilayah II Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Eko Novi Ariyanti Rahayu Damayanti, dalam sebuah analisis situasi perkawinan anak di Indonesia yang disampaikan di Jakarta, Rabu (17/12/2025).
“Penurunan ini merupakan capaian penting dan telah melampaui target nasional. Namun, kita masih menghadapi persoalan besar karena banyak perkawinan anak yang tidak tercatat, sehingga sulit mengetahui angka sesungguhnya secara absolut,” ujarnya.
Data tahun 2024 menunjukkan lima provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi, yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB), Papua Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Kondisi ini menandakan perlunya penguatan intervensi yang lebih spesifik dan kontekstual di wilayah-wilayah tersebut.
Selain itu, meskipun angka nasional menurun, terdapat lima provinsi yang mengalami kenaikan angka perkawinan anak pada 2024, yaitu Sulawesi Tengah, Jambi, Sulawesi Selatan, Riau, dan Kepulauan Riau. “Fenomena ini perlu menjadi perhatian bersama, karena kenaikan di beberapa daerah dapat menghambat upaya percepatan penurunan perkawinan anak secara nasional,” tegas Eko Novi.
Eko Novi menjelaskan bahwa perkawinan anak di Indonesia terbagi menjadi dua kategori, yakni tercatat dan tidak tercatat. Perkawinan anak yang tidak tercatat sering kali luput dari sistem pendataan dan pengawasan, sehingga berkontribusi pada kerentanan anak terhadap berbagai risiko sosial, kesehatan, dan hukum.
“Perkawinan anak yang tidak tercatat menyebabkan anak dan perempuan kehilangan akses terhadap layanan dasar, mulai dari layanan kesehatan, pendidikan, hingga perlindungan hukum,” jelasnya.
Anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat berisiko kehilangan identitas hukum, seperti akta kelahiran, yang menyulitkan akses terhadap layanan kesehatan ibu dan anak, jaminan kesehatan, serta pendidikan formal.
Eko Novi menegaskan bahwa negara telah memiliki landasan hukum yang kuat untuk melindungi hak anak, lain melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak.
Seluruh kebijakan tersebut mengedepankan prinsip non-diskriminasi dan kepentingan terbaik bagi anak, termasuk dalam upaya pencegahan perkawinan anak. “Penurunan angka nasional harus diiringi dengan penguatan pencegahan di daerah dan perbaikan pencatatan. Perlindungan anak adalah tanggung jawab kita bersama,” pungkasnya.




















