Headline.co.id, Jogja ~ Menurut laporan dari Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), sebanyak 126.160 pekerja dari sektor padat karya mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari tahun 2024 hingga Oktober 2025. Dari jumlah tersebut, 79 persen atau 99.666 pekerja berasal dari industri tekstil, garmen, dan sepatu, yang merupakan sektor paling terdampak. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bagi kelompok usia produktif yang sedang bekerja atau mencari pekerjaan.
Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi, M.A., seorang Guru Besar dan Pakar Ketenagakerjaan dari Fisipol UGM, mengamati bahwa tren PHK belakangan ini mulai menurun. Ia menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mendorong penurunan ini adalah kebijakan pengetatan impor yang diterapkan oleh Menteri Keuangan. “Belakangan ini justru dengan adanya gebrakan dari Menteri Keuangan yang melarang masuknya pakaian bekas dan sebagainya, itu sudah mulai menurun. Malah sekarang sudah mulai terjadi titik balik terutama di UMKM tekstil,” ujarnya pada Rabu (19/11).
Prof. Tadjuddin menjelaskan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat dalam skala kecil, perubahan ini sudah menunjukkan adanya perbaikan dalam penyerapan tenaga kerja. Kebijakan pengetatan impor ini juga diiringi dengan penguatan pengawasan terkait penyelundupan, bea cukai, serta pembatasan barang-barang impor tertentu. “Dan juga ada dorongan untuk UMKM lewat pemberian kredit melalui perbankan dengan dana stimulus Rp 200 triliun, itu harapan dia untuk berkembang. Tidak boleh diberikan kredit itu kepada konglomerat,” katanya.
Ia menambahkan bahwa arah kebijakan fiskal yang lebih bersih turut memberikan dampak positif bagi stabilitas industri. “Arahnya sekarang sudah relatif, mulai bagus perkembangan ekonomi karena selama ini yang menjadi ladang korupsi mulai diberhentikan dengan adanya kebijakan-kebijakan Menteri Keuangan,” ungkapnya.
Menurutnya, banyak perusahaan yang sebelumnya kesulitan memperoleh kredit, menghadapi rendahnya daya beli, serta menurunnya produksi menjadi pemicu PHK massal. Dengan membaiknya kondisi tersebut, ia menilai bahwa target pertumbuhan ekonomi secara optimis sebesar 6 persen pada 2026 dapat berdampak pada penciptaan lapangan kerja. “Kalau 6 persen itu berarti dikasih positif terhadap penciptaan lapangan kerja,” jelasnya.
Prof. Tadjuddin menegaskan bahwa meski pemulihan belum berlangsung cepat, tren ekonomi saat ini menunjukkan arah yang lebih positif. “Intinya, sekarang ini tren perkembangan ekonomi kita itu mulai bergerak. Belum secara cepat, tetapi mulai bergerak karena dengan adanya pengetatan maupun kontrol yang dilakukan oleh Menteri Keuangan,” pungkasnya.





















