Headline.co.id, Bandung ~ Prof Susi Dwi Harijanti, Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran, menilai bahwa serangkaian putusan progresif yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) belakangan ini merupakan langkah penting untuk memulihkan kepercayaan publik. Menurutnya, MK sebelumnya berada pada “titik nadir” dan kini berusaha menunjukkan konsistensi dalam menjaga supremasi konstitusi.
Prof Susi menegaskan bahwa progresivitas MK harus dijaga sebagai standar baru bagi lembaga peradilan konstitusi. “Putusan progresif merupakan harapan publik. Jika konsistensi ini hilang, MK akan kembali dikritik,” ujarnya dalam acara Media Gathering KY yang bertema “Refleksi Dua Dekade Menjaga dan Menegakkan Integritas Hakim” di HARRIS Hotel & Conventions Ciumbuleuit Bandung, Jumat (14/11/2025).
Lebih lanjut, Prof Susi menilai bahwa penguatan kualitas putusan MK tidak cukup hanya mengandalkan hakim konstitusi. Keberadaan tenaga ahli (TA) yang kompeten sangat penting untuk menjaga kesinambungan pemikiran dan konsistensi rujukan putusan. Ketika terjadi pergantian hakim, tenaga ahli berperan menjaga ingatan kelembagaan, termasuk sejarah argumentasi dan preseden. “Backup tenaga ahli itu penting agar hakim baru mengetahui putusan-putusan sebelumnya sebagai standar rujukan,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa meskipun hakim tidak boleh saling memengaruhi dalam memutus perkara, ruang diskusi substantif tetap diperlukan agar MK mampu membangun lingkungan kelembagaan yang sehat, terukur, dan berorientasi pada perlindungan hak konstitusional warga negara.
Prof Susi menyoroti persoalan fundamental bahwa sejumlah putusan MK tidak dijalankan oleh pembentuk undang-undang maupun pejabat pemerintah. Ia mencontohkan putusan uji formil Undang-Undang Cipta Kerja, di mana MK memerintahkan perbaikan pembentukan undang-undang, namun pemerintah dan DPR hanya merevisi UU 12/2011 untuk memasukkan metode omnibus, tanpa memenuhi substansi perintah perbaikan proses legislasi. “Ketidakpatuhan itu menjadi ironi. Padahal putusan MK bersifat final and binding, terakhir dan mengikat,” tegasnya.
Terkait hal itu, Prof Susi merujuk pada konstitusi Afrika Selatan yang secara eksplisit memuat norma bahwa putusan pengadilan wajib dipatuhi oleh semua pihak. Menurutnya, Indonesia dapat mempertimbangkan penguatan serupa agar pembangkangan putusan tidak semakin meluas.



















