Headline.co.id, Jogja ~ Perlindungan hukum bagi awak kapal yang berstatus buruh migran menjadi isu penting dalam era globalisasi. Dengan meningkatnya kebutuhan tenaga kerja di sektor maritim, banyak negara mengandalkan buruh migran untuk mengisi kekurangan tenaga kerja di industri pelayaran. Meskipun kontribusi mereka signifikan terhadap ekonomi global, buruh migran sering menghadapi tantangan serius terkait perlindungan hak, termasuk kontrak dan perjanjian kerja. Perjanjian kerja bagi awak kapal harus mematuhi regulasi internasional seperti Konvensi Pekerja Maritim 2006 (MLC 2006), yang menetapkan standar minimum perlindungan pekerja di sektor maritim.
Pemerintah Indonesia melalui kementerian dan lembaga terkait telah diberi mandat untuk merumuskan, merundingkan, dan menandatangani perjanjian internasional sesuai dengan Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Treaty dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Konvensi Wina 1969 menetapkan kewajiban negara-negara untuk melaksanakan perjanjian berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, itikad baik, dan pacta sunt servanda, yang berarti perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan.
Prof. Dr. Agustinus Supriyanto, S.H., M.Si., dari Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada (PSAP UGM), mempresentasikan hasil penelitian terkait penempatan dan perlindungan awak kapal perikanan Indonesia di kapal berbendera Korea Selatan. Ia menekankan pentingnya kementerian dan lembaga terkait untuk merujuk pada prinsip itikad baik yang didefinisikan oleh Komisi Hukum Internasional. Prinsip ini mengharuskan para pihak untuk tidak melakukan tindakan yang menghalangi pelaksanaan atau maksud dari perjanjian.
Rekomendasi ini diberikan kepada Pemerintah Indonesia setelah PSAP UGM melakukan studi penilaian terhadap Memorandum Saling Pengertian (MSP) Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan Korea Selatan. Studi ini menyoroti bahwa sejak penandatanganan MSP pada Mei 2021, Implementing Arrangement untuk menerapkan MSP 2021 belum selesai dibahas oleh kedua negara.
Ratih Pratiwi Anwar, S.E., M.Si., peneliti PSAP UGM, menyatakan bahwa tertundanya pelaksanaan MSP 2021 disebabkan oleh perundingan Implementing Arrangement yang berlarut-larut, berdampak pada perlindungan awak kapal perikanan Indonesia. Jumlah awak kapal yang dikenal sebagai “ABK visa E-10” di Korea Selatan terus meningkat, mendominasi populasi ABK migran visa E-10. Mereka bekerja di kapal ikan pesisir Korea berbobot 20 ton atau lebih, beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Korea.
Penelitian PSAP UGM tentang MSP 2021 didukung oleh Program Riset Kebijakan The Academy of Korean Studies, Korea Selatan. Rapat pembahasan penempatan dan pelindungan awak kapal perikanan migran di Korea Selatan diselenggarakan oleh Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI/BP2MI) dengan PSAP UGM sebagai narasumber kunci. Rapat ini bertujuan membahas reposisi penandatanganan MSP 2021 dan ketetapan-ketetapan yang perlu diamandemen.
Pujiono, S.E., M.H., Kepala BP3MI Provinsi Jawa Tengah periode 2021-2025, mengapresiasi penelitian PSAP UGM. MSP 2021 adalah pengaturan bilateral pertama bagi Indonesia dan Korea Selatan, bahkan di Asia, untuk awak kapal perikanan migran. Diharapkan MSP 2021 dapat mengatasi masalah penempatan yang tidak transparan, kondisi kerja tidak layak, perjanjian kerja laut yang merugikan, serta biaya penempatan dan uang jaminan yang memberatkan ABK dan keluarganya.






















