Headline.co.id, Gorontalo ~ Pemerintah Provinsi Gorontalo berupaya memperkuat sistem pencegahan korupsi melalui rapat koordinasi monitoring dan evaluasi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pertemuan ini berlangsung di Aula Rumah Jabatan Gubernur pada Senin, 10 November 2025. Langkah ini diambil karena nilai Monitoring, Controlling, Surveillance Prevention (MCSP) pencegahan korupsi di Gorontalo masih berada di zona merah, dengan capaian sekitar 36 persen.
Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail, menjelaskan bahwa MCSP adalah alat penilaian yang memantau tata kelola pemerintahan dari tahap perencanaan hingga evaluasi. Target ideal untuk mencapai zona hijau adalah 78 persen. “Idealnya kita harus mencapai zona hijau, kurang lebih 78 persen. Nah, itu yang akan coba didiskusikan bersama pimpinan OPD agar supaya bisa mencapai angka itu,” ujar Gusnar.
Gusnar meminta seluruh perangkat daerah yang progresnya masih rendah untuk segera memperbaiki dokumen, menyelaraskan data, dan melakukan konsolidasi internal. Ia menekankan pentingnya kesiapan OPD dalam mengikuti supervisi KPK, yang merupakan kesempatan untuk memperbaiki sistem secara menyeluruh.
Selain evaluasi MCSP, rapat juga membahas tata kelola perkebunan kelapa sawit, menindaklanjuti rekomendasi Panitia Khusus Sawit DPRD. Gusnar menekankan pentingnya penataan regulasi dan kontribusi sawit agar memberikan manfaat nyata bagi daerah. “Tim KPK juga akan pasti memberikan arahan-arahan kepada kita bagaimana pengembangan sawit ini harus sesuai regulasi yang ada dan manfaatnya kepada pembangunan daerah,” tambahnya.
Kepala Satgas Korsup Wilayah IV KPK, Tri Budi Rahmanto, menegaskan bahwa kehadiran KPK di Gorontalo adalah bagian dari pendampingan dan supervisi, bukan penindakan. KPK akan berada di Gorontalo selama sepekan untuk melakukan evaluasi sistem, penyelarasan data, dan penguatan mekanisme pengawasan internal. “MCSP ini dapat kita ibaratkan sebagai MCU-nya pemerintah daerah, yaitu alat untuk melihat kondisi sebenarnya dari tata kelola pemerintahan,” kata Tri Budi.
MCSP diibaratkan sebagai MCU bagi pemerintah daerah karena instrumen ini memotret kondisi tata kelola pemerintahan secara nyata dan mencakup delapan area utama, mulai dari perencanaan hingga fungsi pengawasan. “Permasalahan seperti PBJ dan pokir, misalnya, sering berulang karena belum dibenahi secara menyeluruh. Karena itu, kami kembali mengingatkan agar seluruh proses ini dilakukan secara transparan, akurat, dan sesuai ketentuan yang berlaku,” tutup Tri Budi.

















