Headline.co.id, Jogja ~ Di Sudut Kota Gede Yogyakarta, seorang remaja bernama M. Raihan Tawakal memulai harinya dengan semangat yang sederhana namun kuat. Siswa kelas 10 di Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 20 Sleman ini tidak memiliki fasilitas mewah atau seragam baru, tetapi ia memiliki cita-cita dan rasa syukur atas kesempatan belajar yang membakar semangatnya setiap pagi.
Perjalanan Tawakal dimulai dari sebuah pesan WhatsApp di grup Program Keluarga Harapan (PKH). Ibunya, yang berprofesi sebagai pedagang jajanan keliling, membaca informasi tentang Sekolah Rakyat, sebuah sekolah berbasis asrama yang dibuka khusus untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu. “Ibu bilang, ‘Coba daftar aja, Nak. Siapa tahu cocok,'” kenang Tawakal kepada pada Sabtu (8/11/2025).
Awalnya, Tawakal merasa ragu dan ingin bersekolah di sekolah negeri seperti teman-temannya. Namun, kesadaran akan pentingnya pendidikan membuatnya mantap melangkah. “Kalau dipikir-pikir, enggak apa-apa. Yang penting tetap bisa sekolah,” ujarnya.
Di rumah, Tawakal tidak hanya belajar. Ia juga membantu ibunya menyiapkan jajanan setiap pagi, mengangkat, membungkus, dan menata dagangan. “Ibu jualan macam-macam, saya bantu sebisanya. Enggak mau ngerepotin,” tuturnya. Dari keseharian itulah, ia belajar tanggung jawab dan ketekunan.
Sejak kecil, Tawakal aktif mengikuti bela diri seperti pencak silat, taekwondo, dan tapak suci. Ia pernah meraih juara dua dan tiga di tingkat daerah. Kini, minatnya berpindah ke dunia seni visual. “Awalnya cuma iseng gambar karakter. Lama-lama suka,” katanya sambil tersenyum malu. Ia tengah membuat komik sendiri dengan impian menjadi mangaka—pembuat komik Jepang.
Meski masih belajar menggambar latar dan memperkuat alur cerita, semangatnya tidak surut. “Saya suka bikin cerita. Tapi baru awal. Masih belajar juga gambar background,” jelasnya. Tawakal mengaku awalnya sempat merasa asing di lingkungan baru SRMA. Namun, berkat kegiatan kelompok saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), ia mulai akrab dengan teman-teman. Kini, ia merasa nyaman dan betah tinggal di asrama.
Sekolah mendukung penuh minat dan bakat siswanya. Selain akademik, Tawakal tetap diberi ruang untuk menggambar dan berlatih silat. Meskipun penggunaan ponsel dibatasi hanya satu jam setiap dua hari, ia tidak mempermasalahkannya. “HP cuma buat nyari referensi. Lebih enak gambar dan nulis,” ucapnya mantap.
Dalam tutur katanya yang sederhana, tersimpan pemahaman hidup yang dalam. “Saya enggak mau ngerepotin ibu. Jalani aja hidup. Yang penting terus belajar, bantu keluarga, dan ngejar cita-cita,” kata Tawakal lirih. Kini, setiap goresan pena dan sapuan pensil dalam bukunya bukan hanya karya seni, melainkan wujud nyata dari semangat, ketekunan, dan harapan. Dari rumah kecil di Kota Gede, lahir mimpi besar tentang masa depan yang perlahan ia bangun dengan tangan sendiri.





















