Headline.co.id, Jogja ~ Fenomena ketidakhadiran ayah dalam keluarga menjadi perhatian penting dalam perkembangan psikologis anak di Indonesia. Istilah “fatherless” tidak selalu berarti ketiadaan fisik ayah, tetapi juga ketidakhadiran emosional. Saat ini, sekitar 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa peran ayah. Dari jumlah tersebut, 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah, sementara 11,5 juta anak lainnya memiliki ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu. Peran ayah sangat penting dalam membentuk kepercayaan diri, nilai moral, dan kecerdasan emosional anak.
Dr. Rahmat Hidayat, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, menekankan bahwa ketidakhadiran ayah berdampak pada aspek psikologis dan sosial anak. Menurutnya, ketiadaan figur ayah dapat mempengaruhi pembentukan rasa percaya diri dan identitas diri anak. “Banyak keluarga saat ini mengalami ketidakhadiran ayah karena tuntutan pekerjaan yang tinggi. Namun, kehadiran ayah tetap dibutuhkan untuk mendukung perkembangan emosional dan sosial anak,” ujarnya pada Kamis (16/10).
Rahmat menjelaskan bahwa ada tiga proses utama dalam pembelajaran anak: observasional, behavioral, dan kognitif. Ketiganya memerlukan kehadiran ayah sebagai role model. Dalam pembelajaran observasional, anak belajar melalui pengamatan perilaku orang lain. Ketidakhadiran ayah menyebabkan anak kehilangan model perilaku utama dalam pengendalian diri, kedisiplinan, interaksi sosial, dan tanggung jawab.
Pembelajaran behavioral melibatkan pembiasaan dan penguatan perilaku positif atau negatif melalui reward dan punishment. Ayah berperan sebagai otoritas yang mengatur batasan, memberikan penghargaan atas perilaku baik, dan koreksi atas pelanggaran aturan. Sementara itu, pembelajaran kognitif berfokus pada interaksi verbal yang membentuk nilai moral dan cara berpikir anak. Ayah berperan sebagai pengarah berpikir dan penalaran.
Rahmat menambahkan bahwa peran ayah dapat digantikan secara terbatas oleh figur lain seperti ibu, guru, atau keluarga besar. Dalam beberapa kasus, ayah yang bekerja jauh dapat tetap membangun hubungan emosional yang baik dengan anak. “Anak bisa merasa bangga ketika ayahnya bekerja di luar kota atau bahkan di luar negeri, selama komunikasi dan hubungan keduanya tetap hangat,” jelasnya.
Ia juga menyoroti perlunya peran aktif pemerintah dalam mengatasi fenomena ini, terutama melalui edukasi pranikah agar calon pasangan siap menjalani tanggung jawab sebagai orangtua. Rahmat menekankan pentingnya pendekatan sistemik dan intensif dalam program pranikah agar tidak hanya menjadi formalitas administratif. “Edukasi peran dalam menghadapi pernikahan harus menjadi bagian penting sebelum membangun komitmen berkeluarga,” tambahnya.
Selain itu, Rahmat menilai pemerintah perlu menggalakkan pemerataan lapangan pekerjaan di luar Jawa untuk mengurangi kasus fatherless. Menurutnya, ketimpangan ekonomi dan kesempatan kerja di daerah merupakan persoalan struktural yang mempengaruhi kehadiran ayah secara emosional. Ketika tekanan ekonomi tinggi dan pekerjaan menuntut mobilitas besar, interaksi emosional ayah dan anak cenderung berkurang.

















