Headline.co.id, Jogja ~ Selama Lebih Dari Dua Dekade Setelah Reformasi pemisahan militer dan urusan sipil telah diterapkan. Namun, belakangan ini muncul rencana pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penegakan keamanan dan ketahanan siber yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Ketahanan dan Keamanan Siber (RUU KKS). Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan peran ganda militer dalam ruang sipil dan potensi tumpang tindih kewenangan dengan aparat hukum. Perluasan peran TNI ini dianggap sebagai ancaman terhadap prinsip demokrasi dan supremasi sipil yang dijamin oleh konstitusi.
Dr. Achmad Munjid, Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada, menyatakan bahwa keterlibatan TNI dalam RUU KKS tidak terjadi dalam ruang kosong. Ia melihat hal ini sebagai kelanjutan dari menguatnya kembali dwi fungsi TNI setelah revisi UU TNI pada Maret 2025. Revisi tersebut memberikan landasan hukum bagi TNI untuk menjalankan tugas di luar operasi perang, termasuk urusan sipil, ekonomi, politik, dan hukum. “Dalam RUU KKS, jika peran militer meluber hingga urusan hukum yang merupakan urusan sipil, jika dibiarkan akan tidak sehat bagi jalannya sistem demokrasi,” ujarnya pada Senin (20/10).
Munjid menilai bahwa pelibatan TNI dalam mengatur urusan siber merupakan perluasan wewenang yang berisiko tinggi dan dapat merusak sistem demokrasi. Ia menekankan pentingnya memahami akuntabilitas dalam pembagian wewenang sipil dan militer dalam RUU KKS. Tanpa kejelasan akuntabilitas, potensi penyalahgunaan kekuasaan dapat terulang. “Tumpang tindih wewenang sipil dan militer dalam RUU KKS perlu diurai, dalam hal ini akuntabilitas menjadi isu fundamental yang perlu diperhatikan kembali,” jelasnya.
Menurut Munjid, TNI memang perlu terlibat dalam urusan keamanan dan ketahanan siber, terutama dalam menghadapi ancaman eksternal seperti perang siber yang memerlukan pemahaman teknologi. Namun, masalah muncul ketika wewenang TNI meluas ke ranah sipil, yang dapat mengancam kebebasan dan demokrasi sipil. TNI tidak seharusnya terlibat sebagai penyidik atau aparat hukum yang memata-matai masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah. Oleh karena itu, perlu peninjauan ulang terhadap wewenang TNI yang seharusnya fokus pada memperkuat ketahanan siber nasional. “Jika TNI terlibat, kebebasan sipil dikontrol dengan ‘pendekatan keamanan’, setiap perbedaan pendapat dianggap sebagai ancaman, dicurigai, apalagi dikriminalisasi. Hal tersebut sangat tidak dibenarkan,” ucapnya.
Negara seharusnya bertanggung jawab atas perlindungan dan pemenuhan hak setiap warga negara yang tercatat dalam konstitusi. Menurut Munjid, kebebasan berpendapat dan perbedaan pandangan merupakan bagian dari demokrasi, bukan ancaman negara. Kritik terhadap pemerintah justru penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Ia berpendapat bahwa keterlibatan TNI dalam urusan politik dan pengawasan sipil mengingatkan pada praktik masa Orde Baru yang mengekang kebebasan masyarakat sipil yang dicurigai sebagai ancaman hingga dikriminalisasi. “Hal tersebut membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan, seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Militerisasi ruang publik hingga ruang siber semestinya tidak terjadi jika ingin menjaga demokrasi tetap sehat,” ungkapnya.
Munjid juga menyinggung kasus kebocoran data nasional dan penyalahgunaan data pribadi yang menunjukkan lemahnya perlindungan keamanan data di Indonesia. Menurutnya, peran aparat militer seharusnya aktif dalam menjaga keamanan data untuk mencegah kebocoran dan penyalahgunaan data, bukan mengkriminalisasi warga sipil yang bersuara. “Peran aparat keamanan harusnya ada di situ, mencegah supaya penyalahgunaan data tidak terulang dan melindungi warga negara dari intervensi asing. Mestinya hal tersebut menjadi prioritas,” tegasnya.





















