Headline.co.id, Jakarta ~ Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute (IMI), Yulian Paonganan, menyatakan bahwa rehabilitasi pascabencana banjir bandang di Sumatera harus dilakukan dengan hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Menurutnya, penting untuk menyelesaikan akar masalah di wilayah hulu terlebih dahulu. Hal ini disampaikan Yulian Paonganan dalam wawancaranya dengan Antaranews pada Minggu, 28 Desember 2025.
Yulian menjelaskan bahwa deforestasi masif yang telah berlangsung lama memperburuk situasi, karena pohon-pohon yang berfungsi sebagai penahan air ikut tersapu oleh banjir bandang. “Area yang tersapu banjir kini menjadi sangat terbuka dan kehilangan sistem penahan air alami. Dalam kondisi seperti ini, hujan dengan intensitas kecil sekalipun berpotensi kembali memicu banjir bandang,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa rekonstruksi infrastruktur dan permukiman akan sangat berisiko jika dilakukan tanpa pembenahan menyeluruh di kawasan terdampak, terutama di wilayah hulu. Untuk mencegah terulangnya bencana, Yulian mengusulkan empat tahapan utama dalam rehabilitasi pascabencana di Sumatera.
Pertama, pemerintah perlu segera mengadopsi teknologi penahan air sementara di wilayah hulu yang telah kehilangan vegetasi. Teknologi ini bisa berupa “pohon-pohon buatan”, turap, atau tanggul yang dirancang secara ilmiah untuk menahan dan mengarahkan aliran air menuju satu jalur sungai utama ke hilir. “Struktur ini bersifat sementara, setidaknya mampu bertahan 20 hingga 30 tahun, sambil menunggu hasil reboisasi tumbuh dan kembali berfungsi sebagai penahan air alami,” jelasnya. Ia juga menekankan pentingnya melibatkan ahli sipil air dan hidrologi dalam perancangan sistem tersebut.
Kedua, Yulian menegaskan perlunya reboisasi masif tidak hanya di wilayah Sumatera yang baru saja dilanda bencana, tetapi juga di seluruh kawasan hutan gundul di Indonesia yang memiliki potensi risiko serupa. Ketiga, rehabilitasi infrastruktur dan permukiman baru dapat dilakukan setelah dua tahapan awal tersebut dijalankan dan dinyatakan aman secara ekologis dan teknis. Keempat, wilayah yang dinilai rawan dan tidak lagi layak menjadi kawasan permukiman harus direlokasi dan didesain ulang, guna menghindari terulangnya tragedi yang sama di masa mendatang.
Yulian menekankan bahwa banjir bandang di Sumatera memiliki karakter berbeda dengan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, atau letusan gunung berapi. “Bencana ini bukan peristiwa siklus ratusan tahun. Ini adalah bencana yang bersumber dari deforestasi masif. Tanpa pembenahan serius, kejadian serupa akan terus berulang bahkan dengan curah hujan rendah,” jelasnya. Ia menambahkan, kawasan pegunungan yang telah kehilangan sistem penahan air kini menjadi titik rawan permanen, sehingga penanganan harus berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebijakan ekologis jangka panjang. “Kalau tidak dibenahi dari sumbernya, kita hanya akan sibuk membangun ulang rumah-rumah yang akan kembali hanyut,” tutupnya.




















