Headline.co.id, Jakarta ~ Indonesia memiliki potensi besar dalam bonus demografi yang dapat menjadi modal strategis menuju pencapaian Indonesia Emas 2045. Namun, untuk mengoptimalkan potensi tersebut, diperlukan penguatan kesejahteraan remaja, terutama dalam aspek kesehatan mental, kondisi sosial ekonomi, dan akses layanan dasar. Hal ini penting agar kualitas sumber daya manusia di masa depan dapat berkembang dengan optimal.
Direktur Statistik Ketahanan Sosial Badan Pusat Statistik (BPS), Nurma Midayanti, menyampaikan hal ini dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) PIK Remaja 2025 yang diadakan oleh Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga/BKKBN) di Jakarta pada Kamis (18/12/2025). Berdasarkan data BPS, sekitar satu dari 20 remaja Indonesia, atau sekitar 2,45 juta orang, mengalami gangguan emosional dalam satu tahun terakhir. Selain itu, 21 persen remaja berusia 13–17 tahun melaporkan sering atau selalu merasa sedih, tertekan, putus asa, atau kehilangan minat dan kegembiraan dalam aktivitas sehari-hari. Kondisi ini lebih banyak dialami oleh remaja perempuan (29,8 persen) dibandingkan remaja laki-laki (12,3 persen).
Nurma menekankan bahwa temuan ini menjadi dasar penting untuk memperkuat sistem dukungan kesehatan mental remaja. “Tantangan utama bukan hanya pada besarnya angka, tetapi juga pada keberanian remaja untuk mencari bantuan,” ujarnya. Data menunjukkan bahwa 57 persen remaja masih merasa takut atau malu untuk mengungkapkan persoalan kesehatan mental, sementara hanya 38,2 persen remaja yang membutuhkan dukungan memanfaatkan layanan konseling di sekolah.
Selain itu, kesejahteraan remaja juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi. BPS mencatat bahwa 10,5 persen remaja berasal dari rumah tangga miskin, dan 15,6 persen remaja miskin hidup dengan disabilitas, yang membutuhkan perhatian khusus agar tetap memperoleh akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial secara setara.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan remaja perlu dilakukan secara komprehensif dan saling terintegrasi. Dengan pendekatan yang tepat, bonus demografi justru dapat menjadi kekuatan besar bagi pembangunan nasional,” tegas Nurma.
Sebagai langkah strategis, BPS merumuskan lima arah penguatan pembangunan remaja. Pertama, penguatan data terpilah berdasarkan gender dan usia, termasuk kesepakatan nasional terkait batasan usia remaja, guna memastikan kebijakan yang lebih akurat dan tepat sasaran. Kedua, integrasi perspektif kesetaraan gender dalam seluruh siklus program pembangunan remaja agar intervensi yang dilakukan bersifat inklusif dan berkeadilan. Ketiga, perluasan akses layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas, terutama di wilayah tertinggal, dengan memperhatikan kebutuhan remaja perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lainnya.
Keempat, penguatan pendekatan multisektor dalam menangani isu remaja yang kompleks, seperti perundungan, perkawinan usia anak, kekerasan berbasis gender, serta perilaku berisiko, melalui peran aktif sekolah, keluarga, dan komunitas. Kelima, pemberdayaan ekonomi dan kepemimpinan remaja melalui pendidikan vokasi, literasi digital, dan kewirausahaan sosial agar remaja dapat berperan sebagai agen perubahan.
Melalui Rakornas PIK Remaja 2025, pemerintah mendorong kolaborasi lintas sektor agar kebijakan remaja hadir secara nyata dalam melindungi, memberdayakan, dan mempersiapkan generasi muda yang sehat mental, berdaya saing, antikekerasan, antiperundungan, serta siap mengoptimalkan bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045.

















