Headline.co.id, Keberhasilan Kampanye Sosial ~ terutama yang berfokus pada pelindungan anak di dunia digital, sangat bergantung pada kemampuan untuk merumuskan masalah secara tepat dan mendalam. Hal ini disampaikan oleh Yulita Alverina Wijaya, Co-founder dan Chief Strategy Officer Think of View, dalam acara TUNAS Bootcamp – Gerakan Kampanye #TungguAnakSiap yang berlangsung di Jakarta pada Rabu, 17 Desember 2025.
Yulita menekankan bahwa ide yang kuat bukanlah yang paling populer atau mudah dipikirkan banyak orang, melainkan yang mampu menyelesaikan masalah yang tepat. Menurutnya, banyak kampanye berhenti pada masalah yang tampak di permukaan tanpa menggali akar persoalan yang sebenarnya. “Sering kali kita berhenti di problem yang kelihatan jelas, yang semua orang juga melihat hal yang sama. Padahal ide yang benar-benar berdampak lahir dari keberanian menggali akar masalahnya,” ujar Yulita.
Dalam paparannya, Yulita menjelaskan bahwa dokumen brief kampanye yang tebal dan penuh data tidak selalu mencerminkan persoalan utama. Informasi tersebut sering kali baru berupa gejala, bukan akar masalah. Ia mengilustrasikan hal ini dengan analogi seseorang yang tampak murung. Tanpa memahami penyebab sebenarnya, solusi yang diambil bisa keliru, boros sumber daya, atau bahkan tidak efektif. “Kalau kita salah membaca masalah, solusi yang kita tawarkan bisa mahal tapi tidak tepat sasaran. Padahal kalau tahu akar masalahnya, solusi bisa jauh lebih sederhana dan efektif,” jelasnya.
Yulita menegaskan bahwa prinsip ini relevan dalam merancang kampanye edukasi digital, termasuk kampanye perlindungan anak sebagaimana diamanatkan dalam PP Tunas. Berbagai persoalan di ruang digital—seperti ujaran kebencian, oversharing, hoaks, hingga kerentanan anak—tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan permukaan.
Dalam sesi interaktif, Yulita mengajak peserta membedah fenomena ujaran kebencian di media sosial. Ia menilai anggapan bahwa ruang digital bersifat anonim dan tanpa konsekuensi masih sebatas gejala yang perlu digali lebih jauh penyebabnya. “Bisa jadi akar masalahnya karena pelaku tidak melihat langsung dampak emosional dari kata-katanya, atau karena komentar provokatif justru mendapat perhatian lebih. Bahkan bisa jadi karena orang-orang yang tidak setuju memilih diam,” ungkapnya.
Pendekatan serupa juga diterapkan pada fenomena oversharing di kalangan anak muda. Menurut Yulita, kebiasaan membagikan masalah pribadi di media sosial sering kali berakar pada kebutuhan akan didengar, dicari dukungan emosional, atau persepsi bahwa keterbukaan adalah nilai yang dihargai di ruang digital. “Ketika orang sedang emosional, tujuan utamanya adalah merasa lega, bukan berpikir jangka panjang. Di sinilah pentingnya empati dalam merancang pesan kampanye,” katanya.
Selain itu, Yulita menyoroti kelompok orang tua yang kerap menjadi sasaran hoaks. Ia menyebut bahwa niat berbagi informasi sering kali dilandasi kepedulian, bukan ketidaktahuan semata. Oleh karena itu, pendekatan kampanye tidak cukup hanya melarang, tetapi perlu mengoreksi motivasi dan membangun kebiasaan verifikasi.
Melalui TUNAS Bootcamp, Yulita mendorong peserta yang mayoritas mahasiswa dan generasi muda untuk berani mengeksplorasi sudut pandang yang berbeda, memvalidasi hipotesis dengan data, serta memahami dimensi psikologis dan sosial dari perilaku digital. “Di titik inilah ide kalian bisa menonjol. Bukan karena paling ramai, tapi karena paling relevan dan manusiawi,” tegasnya.
Pesan tersebut sejalan dengan semangat kampanye #TungguAnakSiap dan implementasi PP TUNAS, yang menempatkan empati, pemahaman tumbuh kembang, serta pendekatan berbasis akar masalah sebagai fondasi perlindungan anak di ruang digital.




















