Headline.co.id, Bandung ~ Direktur Jenderal Ekosistem Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Edwin Hidayat Abdullah, menekankan bahwa perkembangan kecerdasan buatan (AI) telah memasuki tahap baru. Teknologi ini kini berfungsi tidak hanya sebagai alat, tetapi juga sebagai mitra yang dapat membentuk pola pikir, membuat prediksi, dan mengambil keputusan yang kompleks. Edwin menyatakan bahwa tantangan yang dihadapi kini meluas, tidak hanya terbatas pada aspek teknis, tetapi juga mencakup dimensi filosofis dan sosial.
Edwin mengingatkan bahwa AI memiliki potensi untuk disalahgunakan jika tidak dipandu oleh nilai-nilai yang benar. Ia menekankan pentingnya menjadikan pengetahuan dan akhlak sebagai fondasi utama dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi. “Pemerintah memandu pengembangan AI agar berlandaskan prinsip kemanusiaan, inklusivitas, dan persatuan bangsa, termasuk memastikan bahwa manfaat teknologi meningkatkan kemakmuran dan bukan menciptakan pengangguran,” ujar Edwin dalam acara MediaConnect bertajuk “Dari Cepat Jadi Cermat: Menyikapi AI di Meja Redaksi” yang berlangsung di Cornerstone Auditorium, Paskal Hyper Square, Bandung, Jawa Barat, Kamis (27/11/2025).
Edwin menegaskan bahwa AI harus dipandang sebagai persoalan sosial yang dipicu oleh perkembangan teknologi, bukan semata persoalan komputasi. Pada kesempatan yang sama, Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Haryo Damardono, juga memberikan pandangannya mengenai dinamika tersebut. Menurut Haryo, inovasi AI membawa peluang besar sekaligus risiko signifikan bagi dunia media dan pendidikan. Ia mencontohkan bagaimana AI dapat menekan biaya penerjemahan hingga lebih dari 90 persen, namun pada saat yang sama menghilangkan sejumlah pekerjaan.
Untuk menjaga integritas redaksi, Kompas menetapkan pedoman internal yang membatasi penggunaan AI hanya sebagai alat brainstorming dengan tetap melibatkan pengawasan manusia. Kompas juga menerapkan mekanisme deteksi untuk menolak naskah yang terlalu banyak dihasilkan oleh AI. “Jurnalisme sejati di era teknologi membutuhkan pelatihan, dedikasi pada kebenaran, dan kerja lapangan agar tidak tergantikan oleh konten buatan mesin yang generik,” ujar Haryo.
Creative Advisor/AI Specialist, Motulz Anto, dalam kesempatan yang sama, memaparkan perbedaan mendasar kecerdasan buatan generatif dan kreativitas manusia. Menurut Motulz, AI bekerja berdasarkan logika algoritma, statistik, dan penalaran biner sehingga berorientasi pada hasil yang rasional. Sebaliknya, kreativitas manusia bertumpu pada proses, pengalaman, emosi, dan etika, unsur yang tidak dapat digantikan oleh mesin. Motulz menegaskan bahwa bagi para profesional, benteng pertahanan terakhir terhadap dominasi AI tetap berada pada etika, kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan inovasi.




















