Headline.co.id, Penelitian Dari Reuters Institute Mengungkapkan Bahwa Newsfluencer ~ baik individu maupun kelompok kecil yang memproduksi dan menyebarkan konten berita melalui media sosial, kini memiliki pengaruh signifikan dalam perdebatan publik. Di negara-negara dengan jumlah pengguna media sosial yang tinggi seperti Indonesia, India, dan Brazil, peran newsfluencer bahkan bersaing langsung dengan media arus utama.
Reuters Institute juga mencatat bahwa masyarakat Indonesia semakin memanfaatkan media sosial untuk berbagai genre, termasuk konsumsi berita. Hal ini membuka peluang bagi kreator dan jurnalis untuk menyajikan konten berita yang sederhana, mudah dipahami, dan relevan bagi berbagai kelompok masyarakat.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Mufti Nurlatifah, S.I.P., M.A., menilai bahwa keberadaan newsfluencer perlu diiringi dengan pemahaman tentang proses gatekeeping serta kepatuhan pada kode etik jurnalistik. Menurutnya, penilaian status seseorang sebagai jurnalis harus merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Pers. “Mengatakan mereka sebagai influencer tidak apa-apa, tetapi kemudian justifikasi kedudukan mereka yang perlu menjadi catatan dalam konteks ini,” ujarnya pada Kamis (20/11).
Mufti menjelaskan bahwa Indonesia memiliki jumlah kreator yang jauh lebih besar dibandingkan negara lain. Sebelum memasuki rencana sertifikasi influencer oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), perlu ada kesepakatan bersama mengenai definisi dan kriteria siapa yang dapat disebut sebagai influencer. Identifikasi yang jelas menjadi langkah penting sebelum masuk dalam proses lisensi.
Ia menilai bahwa lisensi dalam negara demokratis selalu bersifat ganda. “Sertifikasi membuat identifikasi menjadi lebih mudah. Namun, sertifikasi juga bisa menjadi batasan dalam konteks kebebasan bermedia,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Mufti menyoroti rendahnya kesadaran publik dalam memeriksa latar belakang pembuat konten. Di tengah lahirnya banyak media baru, kebebasan bermedia justru menuntut masyarakat untuk memahami logika platform digital. “Jika berbicara soal kebebasan bermedia, yang perlu disadari adalah memahami logika platformnya, bagaimana influencer itu lahir, muncul dan tenggelam di dalam platform ini,” katanya.
Menurutnya, peningkatan literasi digital harus dilakukan secara kolektif. Pelibatan seluruh elemen masyarakat, mulai dari keluarga, sekolah, komunitas, hingga institusi pemerintah, diperlukan agar pemahaman tentang logika media sosial dapat menjangkau lebih banyak orang. Upaya ini menjadi penting untuk memperkuat ketahanan publik terhadap misinformasi.




















