Headline.co.id, Jogja ~ Laporan dari The State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI) mengungkapkan bahwa 43,5 persen penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan sehat. Hal ini disebabkan oleh akses yang terbatas dan biaya yang tinggi untuk mendapatkan pangan sehat. Menanggapi laporan tersebut, Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc., Guru Besar Bidang Teknologi Pangan UGM, menyatakan bahwa harga pangan sehat di Indonesia masih relatif mahal. “Kalau mau menjangkau protein nabati dan hewani, nilainya sehari-hari bisa mencapai 40 ribu rupiah, atau sekitar 2,5 dolar,” ujarnya pada Senin (10/11).
Sri Raharjo menjelaskan bahwa kebutuhan gizi individu idealnya adalah 2.150 kkal untuk tiga kali makan sehari, yang terdiri dari karbohidrat, protein, mineral, dan vitamin. Namun, tidak semua masyarakat mampu memenuhi kebutuhan gizi tersebut, terutama protein hewani yang harganya cenderung mahal. “Komponen utama dari kalori makanan yang diandalkan hanya karbohidrat, sedangkan protein relatif terbatas karena harganya lebih mahal,” jelasnya.
Menurut Sri, jika satu orang dewasa memenuhi seluruh kebutuhan gizi dalam sebulan, biayanya bisa mencapai 1,2 juta rupiah. Untuk keluarga dengan empat anggota, biaya makan sehat bisa mencapai 5 juta rupiah per bulan. “Berapa banyak rumah tangga yang penghasilannya dua kali lipat dari itu? Mungkin kurang dari 30% penduduk Indonesia yang penghasilannya sekurangnya 10 juta,” tambahnya.
Sri Raharjo menilai bahwa mahalnya harga pangan sehat di Indonesia disebabkan oleh produksi pangan yang terbatas, sehingga harus dipenuhi melalui impor. Bahan pangan seperti daging, susu, dan jagung sebagian besar diimpor. Hampir 80% kebutuhan susu diimpor dari luar negeri, dan harga bahan impor dipengaruhi oleh pasar dunia. “Harga di pasar dunia cenderung naik karena ketersediaannya semakin dibatasi oleh negara pengekspor yang mengutamakan kebutuhan dalam negeri,” ungkapnya.
Untuk mengatasi masalah ini, Sri menyarankan dua langkah penting bagi pemerintah. Pertama, menjaga ketersediaan pangan, dan kedua, meningkatkan daya beli konsumen. “Jika produksi dalam negeri rendah, harus dibantu dengan impor. Impor tidak bisa langsung dikurangi atau dihentikan karena akan berisiko bagi pasokan pangan dalam negeri,” jelasnya.





















