Headline.co.id, Sleman ~ Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 20 Sleman mengimplementasikan model pendidikan berbasis asrama yang menggabungkan pembelajaran akademik dengan pembentukan karakter dan penguatan keterampilan hidup. Program ini dirancang untuk mendukung siswa, terutama yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi rentan, agar dapat mandiri dan tangguh dalam menghadapi tantangan hidup.
Lyvia Choira, Guru Bimbingan dan Konseling di SRMA 20 Sleman, menjelaskan bahwa sistem pembinaan di sekolah ini dilakukan secara menyeluruh melalui kolaborasi pendidik di kelas dan pembina asrama. “Karena ini lingkungan asrama, tanggung jawab pendidikan terbagi wali asuh dan wali asrama untuk kegiatan non-akademik, dan tim kurikulum untuk pembelajaran di kelas,” ujar Lyvia dalam wawancara di Sleman, Sabtu (8/11/2025).
Kegiatan belajar mengajar berlangsung setiap hari dari pukul 07.15 hingga 15.30 WIB, atau hingga 14.20 WIB pada hari Jumat. Selain pembelajaran reguler, siswa juga mengikuti kegiatan kokurikuler seperti praktik gaya hidup berkelanjutan, pembuatan kompos, dan pengukuran pH tanah. Hasil karya tersebut kemudian dipamerkan dalam gelar karya sebagai bentuk pertanggungjawaban proses belajar.
Sebelum memulai pembelajaran formal, seluruh siswa menjalani kurikulum persiapan selama dua bulan. Pada tahap ini, fokus pembinaan adalah pada penguatan keterampilan hidup sosial, literasi digital, dan adaptasi ritme kehidupan asrama. “Pembelajaran digital juga dikembangkan melalui platform learning management system (LMS). Kami sedang menyusun modul sendiri, tapi untuk sementara masih mengacu pada modul dari Kemendikbudristek dan Kurikulum Merdeka,” jelas Lyvia.
Ia menambahkan bahwa kurikulum yang diterapkan tetap mengacu pada panduan nasional, namun disesuaikan dengan kondisi serta kebutuhan siswa yang memiliki latar belakang beragam. “Kami berusaha membuat siswa siap menghadapi kehidupan di asrama dengan membentuk pembiasaan positif. Salat duha dan makan bersama, misalnya, menjadi bagian dari pembentukan karakter,” ujarnya.
Ekstrakurikuler di SRMA 20 juga cukup beragam, mulai dari olahraga seperti tenis meja, futsal, hingga pencak silat, serta kegiatan keagamaan. Menurut Lyvia, karakter religius memang dibangun, tetapi tidak menjadi dominan dalam kurikulum akademik. “Karakter religius memang ditanamkan, namun bukan berarti kurikulumnya bernuansa keagamaan secara dominan. Kegiatan keagamaan menjadi bagian dari program keasramaan,” jelasnya.
Lyvia juga membagikan pengalamannya dalam membina siswa yang memiliki latar belakang kehidupan yang kompleks. Tantangan terbesar biasanya muncul pada aspek kedisiplinan, kesiapan belajar, hingga penyesuaian kebiasaan. “Pernah ada siswa yang enggan bangun pagi. Kami harus mendatangi kamar, menunggu sampai ia siap mandi, bahkan harus mengantar ke kelas. Pendekatan yang kami gunakan bersifat personal dan mendalam,” katanya.
Untuk menjaga kedisiplinan, SRMA 20 menerapkan sistem izin berjenjang yang harus melewati wali asuh, guru kelas, dan guru piket. Sistem ini bukan sekadar prosedur, tetapi bagian dari pembelajaran tanggung jawab. Meski menghadapi tantangan tidak mudah, Lyvia menyebut bahwa justru semangat belajar para siswa menjadi sumber kekuatan bagi para pendidik. “Mereka punya latar belakang yang sulit, tapi semangat belajarnya luar biasa. Ada yang mengumpulkan tugas lebih awal karena begitu antusias. Kami sebagai guru justru jadi belajar dari mereka,” ujarnya.
Menurut Lyvia, keberhasilan pendidikan berbasis asrama terletak pada kemampuan menyeimbangkan ketegasan dan empati. “Keduanya harus berjalan seimbang. Kalau hanya tegas, tidak akan masuk ke hati mereka. Tapi kalau hanya lembut, aturan bisa diabaikan. Pendekatan kami kolaboratif, penuh empati, namun tetap berprinsip,” pungkasnya.
Model pendidikan ini menunjukkan bagaimana sekolah dapat menjadi ruang pemulihan dan pemberdayaan, bukan sekadar tempat belajar. SRMA 20 Sleman hadir sebagai dukungan bagi generasi muda agar memiliki kesempatan tumbuh dalam lingkungan yang aman, terarah, dan berdaya.





















