Headline.co.id, Jogja ~ Kandidiasis Oral atau dikenal sebagai oral thrush, adalah infeksi jamur di rongga mulut yang disebabkan oleh Candida albicans. Jamur ini biasanya hidup sebagai flora normal di mulut, tetapi dapat menjadi patogen ketika terjadi ketidakseimbangan mikroflora atau penurunan sistem imun, menyebabkan peradangan dan lesi putih pada mukosa mulut. Sering kali, kondisi ini disalahartikan sebagai sariawan biasa, padahal bisa menjadi tanda gangguan sistemik seperti diabetes melitus atau penurunan imunitas.
Menanggapi rendahnya kesadaran masyarakat dan keterbatasan alat diagnosis dini, tim mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan inovasi bernama Canditect. Alat ini merupakan perangkat deteksi dini kandidiasis oral berbasis Internet of Things (IoT) dan machine learning. Tim Program Kreativitas Mahasiswa Karsa Cipta (PKM-KC) yang mengembangkan alat ini dipimpin oleh Naila Evelyna Difani Putri, bersama Maria Benita Amarantha Elani dari Kedokteran Gigi, Irfan Satrio Wibowo dan Attahya Dzikra Hidayat dari Teknologi Rekayasa Internet, serta Aziz Nofikri dari Teknik Mesin.
Naila Evelyna Difani menekankan pentingnya deteksi dini kandidiasis oral karena banyak orang belum menyadari bahwa infeksi ini bukan sekadar sariawan biasa. “Dengan alat seperti Canditect, masyarakat bisa memeriksakan diri secara non-invasif melalui saliva, sehingga kesadaran terhadap kesehatan mulut meningkat,” jelas Naila pada Sabtu (18/10).
Prototipe Canditect yang dikembangkan memanfaatkan tiga parameter utama: pH, kadar glukosa, dan aktivitas elektrokimia untuk mendeteksi keberadaan Candida albicans dalam saliva. Sensor berbasis Screen-Printed Carbon Electrode (SPCE) diintegrasikan dengan sensor pH dan sensor glukosa, kemudian data diproses melalui sistem IoT dan algoritma machine learning jenis random forest untuk analisis otomatis.
Canditect menawarkan alternatif yang lebih praktis, cepat, dan efisien dibandingkan metode laboratorium seperti kultur mikrobiologi atau uji molekuler yang memakan waktu dan biaya. Alat ini dirancang untuk mendeteksi tanda-tanda awal infeksi secara real-time, serta memberikan rekomendasi bagi tenaga medis untuk tindak lanjut.
Selama pengembangan, tim menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan sistem deteksi biologis yang sensitif dengan teknologi IoT. “Kami juga sempat memfokuskan penelitian pada enzim Secreted Aspartyl Proteinase (SAP) karena perannya yang penting dalam virulensi Candida. Namun setelah riset lebih lanjut, kami menemukan sensitivitas deteksi enzim ini terlalu rendah, sehingga kami beralih ke parameter lain yang lebih stabil, yaitu pH, glukosa, dan respon elektroda SPCE,” tambah Naila.
Saat ini, tim Canditect terus menyempurnakan prototipe dan algoritma deteksi. Uji pengambilan sampel saliva dijadwalkan dilakukan pada pertengahan Oktober 2025 di Korpagama UGM dengan fokus pada responden penderita diabetes melitus yang memiliki risiko tinggi terhadap kandidiasis oral.
Naila dan tim menekankan bahwa kolaborasi lintas bidang menjadi kunci utama keberhasilan riset ini. Pengembangan Canditect tidak hanya membutuhkan pemahaman biomedis, tetapi juga keahlian elektronika dan pemrograman. “Kami belajar bahwa inovasi kesehatan bukan hanya tentang hasil akhirnya, tapi tentang bagaimana memahami kebutuhan masyarakat dan menerjemahkannya menjadi solusi nyata,” tuturnya.
Ke depan, tim berharap Canditect dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi perangkat deteksi dini yang mudah diakses, akurat, dan terjangkau baik di fasilitas kesehatan maupun klinik gigi. “Kami ingin Canditect menjadi langkah awal menuju sistem pemantauan penyakit mulut berbasis IoT di masa depan,” pungkas Naila.





















