Headline.co.id, Jakarta ~ Program pendanaan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang bertujuan memperkuat ekonomi kerakyatan justru menimbulkan kekhawatiran di kalangan akademisi. Program ini, yang dirancang dengan pendekatan top-down dan menargetkan pendirian 80.000 unit koperasi, dinilai tidak sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan riil masyarakat. Akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyoroti potensi masalah dalam pelaksanaan program ini.
Dalam acara International Guest Lecture dan Peluncuran Policy Paper Series Koperasi Merah Putih yang diadakan oleh Departemen Hukum Administrasi Negara (HAN), Fakultas Hukum UGM, Ketua Departemen HAN, Dr. Richo Andi Wibowo, S.H., LL.M., Ph.D., mengungkapkan kekhawatirannya terhadap risiko fundamental dalam pemberian pinjaman pada koperasi tersebut. Ia menilai bahwa regulasi saat ini lebih menekankan pada percepatan persetujuan pinjaman daripada verifikasi yang cermat. “Aneka produk hukum yang lahir didesain agar pejabat termasuk bank Himbara untuk condong menyetujui proposal bisnis yang diajukan Kopdes Merah Putih agar mendapatkan akses pendanaan dari Bank,” ujarnya.
Dr. Richo juga mengingatkan bahwa target ambisius untuk mendirikan 80.000 koperasi desa dapat mengabaikan proses verifikasi yang teliti. Ia menyatakan bahwa tekanan untuk mencapai target tersebut dapat membuat pejabat lebih cenderung menyetujui proposal bisnis tanpa verifikasi yang memadai. “Patut dikhawatirkan bahwa jargon launching 80 ribu koperasi desa pada awal-tengah tahun ini hanya akan semakin menekan psikologis pejabat yang terlibat dalam verifikasi proposal bisnis untuk cenderung menyetujui proposal yang masuk guna mencapai target tersebut,” tambahnya.
Dosen Hukum UGM lainnya, Dr. Hendry Julian Noor, mengkritik program pemerintah yang lebih menekankan pada akses pendanaan dan skema penanggulangan kerugian melalui pemblokiran dana desa, namun kurang dalam sosialisasi mengenai tanggung jawab personal pengurus jika terjadi kerugian. “Jangan sampai pengurus Kopdes mispersepsi, bahwa boleh tidak cermat atau sengaja rugi, karena kerugian kelak akan ditanggung melalui pemblokiran di masa depan melalui dana desa atau dana bagi hasil,” jelasnya.
Syafa M. Aufa, asisten penelitian Departemen HAN FH UGM, menyoroti ketergesaan dalam peluncuran program ini. Ia mencatat bahwa hanya ada jarak waktu empat bulan penerbitan Surat Edaran (SE) Menkop pada 18 Maret 2025 dan peluncuran nasional Kopdes Merah Putih pada 21 Juli 2025. “Tidak logis untuk mengharapkan koperasi mampu menyusun rencana bisnis yang berkualitas dalam waktu yang relatif terbatas,” ujarnya.






















