Headline.co.id, Jakarta ~ Terpilihnya László Krasznahorkai, novelis asal Hungaria, sebagai penerima Hadiah Nobel Sastra 2025 menarik perhatian dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan sastrawan. Prof. Aprinus Salam, dosen di Departemen Sastra dan Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, menilai bahwa pemilihan ini menunjukkan kepekaan panitia Nobel Sastra terhadap isu krisis eksistensial dan moral yang melanda dunia saat ini.
Menurut Aprinus, panitia Nobel Sastra setiap tahunnya mampu mengidentifikasi persoalan dunia yang penting. Lembaga ini dikenal berhati-hati dan terdiri dari juri yang berpengalaman serta ahli di bidangnya. Aprinus menilai bahwa dunia saat ini berada dalam situasi yang “apokaliptik”, dan karya sastra seperti milik Krasznahorkai dapat membantu manusia menyadari dan menghadapi kenyataan tersebut.
Di Indonesia, banyak peristiwa besar telah terjadi, seperti pada tahun 1965 dan 1998, yang menyebabkan ribuan korban jiwa. Namun, menurut Aprinus, yang lebih mengerikan adalah dampak setelah peristiwa tersebut, yaitu runtuhnya moral dan spiritualitas. “Anehnya, kita tidak memiliki keberanian yang jujur dan berani untuk memperbaiki itu semua. Kondisi kita tidak lebih baik bahkan dibanding peristiwa mengerikan itu. László Krasznahorkai mengingatkan itu kembali,” ujarnya pada Jumat (17/10).
Aprinus berpendapat bahwa setiap penulis sastra yang serius akan berusaha menciptakan pembaharuan dalam teknik, pengetahuan, dan cara pandang terhadap manusia dan dunia. Hal ini menjadi kriteria penting untuk dianggap layak mendapatkan Nobel Sastra. Pembaharuan tersebut membantu manusia memahami ulang dunia yang terus berubah agar tidak terjebak dalam pemahaman yang tumpul. “Dalam situasi seperti itu, tentu panitia Nobel Sastra kadang juga bersikap politis untuk sekali setahun menyegarkan dunia dengan isu-isu yang mungkin penting diperbincangkan kembali,” tambahnya.
Menjawab pertanyaan mengapa sastra Indonesia belum menembus panggung penghargaan dunia seperti Nobel Sastra, Aprinus menekankan bahwa menulis sastra adalah perjuangan kemanusiaan yang tinggi. Sayangnya, situasi ekonomi, politik, dan kultural di Indonesia belum mendukung perjuangan semacam itu. “Menulis sastra keren itu berat. Ia adalah pekerjaan ‘melawan dunia’ yang tidak adil. Dibutuhkan pengetahuan yang luas dan keberanian moral yang dalam,” katanya.
Selain faktor struktural, Aprinus melihat kendala mendasar juga terletak pada karakter masyarakat Indonesia sendiri. Menurutnya, banyak penulis Indonesia cepat puas dan belum terbiasa dengan kerja keras untuk menulis karya yang benar-benar mendalam. Meski begitu, ia tetap mengakui bahwa sudah ada karya-karya bagus yang lahir dari tanah air. “Tapi kita perlu lembaga di tingkat negara yang fokus menerjemahkan karya Indonesia ke bahasa asing agar bisa dikenal dunia,” harapnya.
Lebih lanjut, Aprinus juga menilai bahwa kampus memiliki peran penting dalam melahirkan peneliti dan kritikus sastra. Meski bukan merupakan hasil dari kurikulum, kampus bisa memberikan fasilitas bagi mereka yang ingin berjuang secara individual. “Selain itu, Pemerintah (Kementerian Kebudayaan) jauh lebih berpeluang dan berperan besar. Lembaga itu juga punya dana yang besar yang bisa dialokasikan dananya untuk memfasilitasi mereka yang mau menulis dengan serius,” tegas Aprinus.
Aprinus juga kembali menegaskan jika sastra di Indonesia ingin menembus panggung dunia seperti Nobel Sastra, dibutuhkan ketekunan, kesabaran, dan kedisiplinan tinggi. “Jangan mudah tergoda popularitas sesaat. Penulis harus mengikuti perkembangan pemikiran global, memahami situasi yang pelik, dan siap tidak dihargai. Menulis sastra itu berat, dan kesadaran akan beratnya itulah yang sering kali kita remehkan,” pungkas Aprinus.





















