Headline.co.id (Maluku Utara) ~ Di tengah birunya Laut Banda, pulau kecil Banda Neira kini menjadi pusat perhatian nasional. Tak hanya dikenal sebagai “mutiara rempah dunia”, pulau bersejarah di Maluku Tengah ini kini berkembang sebagai model ekonomi pesisir berkelanjutan berbasis budaya maritim. Melalui program Laut untuk Kesejahteraan (LAUTRA), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengintegrasikan konservasi laut, arkeologi, dan budaya lokal sebagai fondasi pembangunan ekonomi biru.
“Program LAUTRA yang dijalankan KKP menempatkan Banda Neira sebagai kawasan prioritas karena memiliki kekayaan ekosistem laut sekaligus nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Kami ingin membangun model pengelolaan laut yang tidak hanya lestari, tetapi juga mensejahterakan,” ujar Koswara, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP, dalam keterangan resmi di Jakarta, Minggu (26/10/2025).
Program LAUTRA yang diluncurkan di 11 provinsi dengan total area 8,3 juta hektare ini bertujuan memperkuat empat komponen utama: kelembagaan konservasi, ekonomi lokal, blue financing, serta manajemen proyek terpadu. Melalui pendekatan tersebut, KKP menargetkan 75 ribu penerima manfaat langsung, termasuk 30 persen kelompok perempuan pesisir.
Menghidupkan Ekonomi Tanpa Merusak Alam
Masyarakat Banda Neira kini bertransformasi dari sekadar nelayan tangkap menjadi pelaku ekowisata dan konservasi laut. Mereka menanam terumbu karang buatan, mengelola jalur wisata snorkeling, hingga membangun koperasi wisata bahari. Kesadaran bahwa “karang sehat adalah investasi masa depan” menjadi landasan hidup baru masyarakat pesisir.
Menurut Enggar Sadtopo, Direktur Jasa Bahari KKP, dukungan dana diberikan melalui tiga skema hibah dengan nilai antara Rp150 juta hingga Rp1,25 miliar. Dana tersebut digunakan untuk mendukung pengembangan UMKM biru yang ramah lingkungan, pelatihan pemandu wisata budaya bersertifikat, serta pembangunan infrastruktur seperti dermaga wisata dan museum laut.
“Pendanaan ini bukan sekadar bantuan ekonomi, tapi investasi jangka panjang agar laut tetap menjadi sumber kehidupan yang berkelanjutan,” tutur Enggar.
Harmoni Alam dan Budaya
Program Banda Dive Heritage Trail menjadi bukti bahwa wisata bisa berjalan beriringan dengan pelestarian alam dan budaya. Wisatawan tidak hanya menikmati keindahan bawah laut, tetapi juga diajak mengenal sejarah rempah dan kehidupan masyarakat lokal. Sebagian hasil pendapatan dari wisata ini disalurkan untuk kegiatan konservasi dan pemberdayaan masyarakat.
Dr. Muhammad Farid, Rektor Universitas Banda Neira, menyebut wilayah ini sebagai “laboratorium hidup pembangunan berkelanjutan” yang menuntut kolaborasi lintas sektor. Sementara itu, Dr. Kastana Sapanli dari IPB University menilai Banda Neira sebagai bagian penting dari Coral Triangle dan Spice Islands yang memiliki potensi besar untuk pengembangan eco-diving, heritage spice tourism, dan agrowisata pala.
Warisan sejarah Banda Neira pun menjadi daya tarik tersendiri. Rumah kolonial, benteng Belgica, hingga jejak pengasingan Bung Hatta diintegrasikan ke dalam paket tur sejarah. Dengan pendekatan tersebut, ekowisata Banda tidak hanya mengandalkan pesona alam, tetapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai budaya yang selama ini menjadi identitas masyarakat Banda.
Tantangan dan Harapan
Meski demikian, Banda Neira masih menghadapi berbagai tantangan seperti kenaikan suhu laut, abrasi pantai, dan ketergantungan logistik dari luar pulau. Pemerintah daerah pun menggencarkan program “Desa Bahari Cerdas” dan “Kampung Iklim” untuk memperkuat adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim dan pengelolaan sumber daya laut secara mandiri.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan pentingnya keseimbangan antara perlindungan ekosistem, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan ekonomi biru sebagai pilar utama pembangunan kelautan nasional. “Pembangunan kelautan yang berkelanjutan tidak bisa hanya soal angka ekonomi, tapi harus memastikan laut tetap hidup dan masyarakat tetap sejahtera,” ujarnya.
Menjaga Harmoni di Ujung Timur Nusantara
Menjelang senja, langit Banda Neira berubah jingga keemasan. Di pesisir, anak-anak bermain bola, sementara para ibu menjemur pala di bawah bayang Gunung Api Banda yang megah. Di sinilah keseimbangan itu nyata — alam yang dijaga, budaya yang dirawat, dan ekonomi yang tumbuh dari akar lokal.
Banda Neira kini bukan hanya simbol kejayaan rempah masa lalu, tetapi contoh nyata bagaimana warisan sejarah dan kekayaan laut dapat bersatu membangun masa depan yang berkelanjutan. Pulau kecil ini membuktikan bahwa keberlanjutan bukan sekadar wacana, melainkan cara hidup — harmoni antara manusia, budaya, dan alam.




















