Headline.co.id (Surabaya) — Usulan Badan Gizi Nasional (BGN) untuk memasukkan pendidikan gizi ke dalam kurikulum sekolah mendapat sorotan tajam setelah ditolak oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). BGN menyayangkan keputusan tersebut, mengingat urgensi literasi gizi yang kian mendesak di tengah berbagai tantangan kesehatan anak.
Pakar gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Lailatul Muniroh, menegaskan bahwa pemahaman gizi yang memadai harus ditanamkan sejak dini. “Menyangkut asupan nutrisi anak tidak boleh asal-asalan. Literasi gizi harus dimulai sejak dini, anak wajib dibekali ilmu mencakup nutrisi gizi seimbang,” ujarnya dalam pernyataan yang disampaikan di Surabaya, Selasa (29/7/2025).
Menurut Lailatul, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang saat ini digagas pemerintah seharusnya tidak berdiri sendiri. Ia mengingatkan bahwa pemberian makanan tanpa pemahaman gizi hanya akan menjadi kebijakan jangka pendek yang minim dampak. “Kita tidak bisa mengandalkan MBG kalau isinya tidak merepresentasikan gizi seimbang. Anak-anak perlu tahu kenapa mereka harus makan makanan sehat, apa akibat dari kekurangan zat gizi makro maupun mikro,” tegasnya.
Lebih lanjut, Lailatul menyoroti peran penting ibu sebagai pengampu utama urusan konsumsi keluarga. Ia menilai masih banyak orang tua yang belum memiliki pengetahuan cukup untuk mengevaluasi kecukupan gizi dari makanan yang diberikan melalui program-program pemerintah.
Yang menarik, Lailatul mendorong agar pendidikan gizi tidak diperlakukan sebagai mata pelajaran terpisah, melainkan diintegrasikan secara kontekstual ke dalam berbagai mata pelajaran sekolah. Gizi dapat hadir dalam pelajaran IPA melalui topik makronutrien, dalam Bahasa Indonesia lewat narasi tentang pangan, hingga dalam PJOK melalui proyek penyusunan menu sehat dan pengamatan kantin sekolah.
“Konsepnya adalah pendidikan kontekstual. Kita tidak ingin anak-anak sekadar tahu nama sayur, tetapi memahami mengapa mereka harus memilihnya,” katanya.
Lebih dari sekadar materi ajar, pendidikan gizi menurut Lailatul harus dibingkai sebagai keterampilan hidup (life skill) yang akan menjadi bekal anak menghadapi tantangan kesehatan di masa depan. Ia menekankan pentingnya sinergi antara sektor pendidikan, kesehatan, dan keluarga dalam mewujudkan kurikulum yang adaptif dan kontekstual.
“Pendidikan gizi adalah investasi jangka panjang. Kalau kita abai hari ini, anak-anak akan membayar mahal di masa depan dalam bentuk stunting, penyakit metabolik, hingga produktivitas yang rendah,” pungkasnya.
Dengan polemik ini, masa depan pendidikan gizi di sekolah bergantung pada kemauan lintas sektor untuk berkolaborasi. Literasi gizi bukan hanya soal makanan, tetapi soal masa depan bangsa.





















