Headline.co.id (Jakarta) — Upaya menyelamatkan kekayaan linguistik Nusantara kembali digaungkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Dalam kuliah umum bertajuk “Keanekaragaman dan Kelestarian Bahasa di Indonesia” yang digelar secara hibrida, Minggu (27/7), pemerintah menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor serta peran aktif generasi muda dalam mencegah kepunahan bahasa daerah.
Acara yang berlangsung di Aula Sasadu, Gedung M. Tabrani Badan Bahasa, serta disiarkan langsung melalui kanal YouTube resmi, menarik lebih dari 700 peserta. Hadir dalam diskusi tersebut kalangan akademisi, mahasiswa, peneliti bahasa, pegiat budaya, hingga masyarakat umum—sebuah bukti bahwa isu bahasa masih menggugah kepedulian banyak pihak.
Kepala Badan Bahasa, Hafidz Muksin, menegaskan bahwa pelestarian bahasa tidak dapat dibebankan semata kepada pemerintah pusat. “Tanpa kolaborasi lintas sektor, warisan leluhur kita bisa lenyap dalam satu generasi,” ujarnya. Hafidz menekankan bahwa pemerintah daerah, tokoh masyarakat, akademisi, hingga lembaga pendidikan harus turut serta dalam upaya pelindungan bahasa.
Lebih dari sekadar dokumentasi dan regulasi, pelestarian kini merambah ranah digital. Aplikasi permainan edukatif berbasis lokal dan platform teknologi bahasa mulai dikembangkan oleh komunitas pemuda di berbagai daerah. Pendekatan inovatif ini menjadi angin segar, terutama dalam menjangkau generasi muda yang tumbuh di tengah arus digitalisasi.
Indonesia tercatat memiliki 718 bahasa daerah—angka yang menempatkan negeri ini sebagai salah satu negara dengan keragaman linguistik tertinggi di dunia. Namun, dominasi Bahasa Indonesia dalam pendidikan dan ruang formal menjadikan banyak bahasa daerah terpinggirkan dan terancam punah.
Profesor Marian Klamer dari Universitas Leiden, Belanda, mengangkat contoh konkret dari Pulau Pantar, Nusa Tenggara Timur, yang memiliki 11 bahasa lokal dalam satu wilayah kecil. “Keanekaragaman ini seperti taman kota: penuh warna, tapi jika tidak dirawat, satu per satu akan layu dan menghilang,” tuturnya.
Dalam diskusi tersebut, muncul juga cerita inspiratif dari Pulau Kisar, Maluku. Nazarudin, akademisi Universitas Indonesia yang juga pegiat bahasa daerah, memaparkan kebangkitan kembali bahasa Oirata berkat dokumentasi dan penyusunan kamus lokal oleh masyarakat. Menurutnya, “Inisiatif dari akar rumput bisa menjadi pelindung paling kuat dari kepunahan bahasa.”
Tak hanya soal pelestarian, Hafidz juga mendorong pendekatan yang merangsang rasa bangga terhadap bahasa ibu. Lomba berbahasa daerah, konten kreatif di media sosial, musik, hingga film pendek berbahasa lokal dinilai efektif menarik minat generasi muda. “Kita harus ciptakan ruang apresiasi, agar generasi muda tidak hanya bisa berbahasa ibu, tapi juga bangga menggunakannya,” kata Hafidz.
Topik diskusi pun melebar ke wilayah Papua, dengan pembahasan menarik soal hubungan antara bahasa lokal Papua dan rumpun bahasa Australia, serta tantangan penggunaan bahasa ibu dalam keluarga multibahasa.
Mengakhiri acara, Dora Amalia, Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, menggarisbawahi pentingnya sinergi berkelanjutan antar berbagai pihak. “Bahasa Indonesia sebagai pemersatu dan bahasa daerah sebagai identitas budaya, keduanya harus berjalan berdampingan. Bukan hanya lestari, tapi juga relevan dan berkembang,” pungkasnya.
Kuliah umum ini bukan sekadar diskusi, melainkan pengingat kuat: jika ingin bahasa daerah tetap hidup, maka keberlanjutannya harus menjadi tanggung jawab kolektif seluruh bangsa.





















