Headline.co.id (Jakarta)— Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terus mendorong percepatan transformasi digital pertanahan melalui implementasi Sertifikat Elektronik yang telah dijalankan sejak 2023. Kendati demikian, masyarakat pemilik sertifikat tanah dalam bentuk warkah atau buku berwarna hijau tidak perlu cemas, sebab dokumen tersebut tetap sah secara hukum.
“Implementasi Sertifikat Elektronik ini tidak serta-merta membuat sertifikat berbentuk warkah atau buku menjadi tidak berlaku. Sertifikat yang sudah dimiliki masyarakat tetap sah dan tidak ada kewajiban melakukan alih media secara otomatis,” tegas Sekretaris Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (Sesditjen PHPT) Kementerian ATR/BPN, Shamy Ardian, dalam keterangannya pada Kamis (10/7).
Shamy menepis berbagai isu keliru yang beredar di tengah masyarakat. Ia memastikan bahwa proses digitalisasi ini bukan bentuk penarikan paksa atau penghapusan hak kepemilikan, sebagaimana dikabarkan oleh sejumlah narasi tak berdasar.
“Jangan mudah percaya pada informasi dari sumber yang tidak kredibel. Tidak ada sanksi jika masyarakat tidak mengubah sertifikat lama menjadi bentuk elektronik,” ujarnya.
Lebih jauh, Shamy menjelaskan bahwa sertifikat akan berubah menjadi bentuk elektronik hanya jika pemiliknya melakukan layanan pertanahan, seperti balik nama, pemecahan, roya, maupun permohonan hak tanggungan. Dalam kasus tersebut, masyarakat akan menerima Sertifikat Elektronik berbentuk lembaran dengan kertas khusus (secure paper) dan kode QR yang dapat diakses secara pribadi dan aman.
“Contohnya, jika ada proses jual beli, dan sertifikat sebelumnya masih berbentuk buku, maka sertifikat hasil balik nama akan menjadi Sertifikat Elektronik. Jadi, perubahan bentuk terjadi karena layanan, bukan karena kewajiban alih media,” paparnya.
Terkait kekhawatiran bahwa Sertifikat Elektronik membuka jalan bagi perampasan tanah oleh negara, Shamy menegaskan bahwa hal tersebut sama sekali tidak berdasar. Ia menerangkan bahwa dalam proses pendaftaran tanah terdapat dua aspek utama: aspek fisik dan aspek yuridis. Transformasi digital ini hanya menyasar aspek yuridis atau legalitas, bukan bentuk fisik dari tanah itu sendiri.
“Fisik tanahnya tetap di tempatnya. Yang berubah hanya sistem pencatatan dan status hukum tanah dalam bentuk digital. Tidak ada korelasinya dengan isu perampasan tanah. Itu jelas hoaks,” tegasnya.
Sebagai langkah antisipatif terhadap penyebaran hoaks, masyarakat diimbau untuk merujuk pada kanal informasi resmi yang dikelola Kementerian ATR/BPN. Informasi valid seputar kebijakan pertanahan dapat diakses melalui situs web www.atrbpn.go.id, akun media sosial resmi kementerian, maupun layanan pengaduan melalui Hotline 0811-1068-0000.
Dengan pendekatan yang transparan dan mengedepankan kepastian hukum, transformasi menuju Sertifikat Elektronik diharapkan menjadi tonggak penting dalam mewujudkan tata kelola pertanahan yang modern dan terpercaya.


















