Headline.co.id (Jakarta)– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan komitmennya dalam mengawal Program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu program strategis nasional yang menyasar jutaan anak Indonesia. Program ini dinilai penting sebagai investasi jangka panjang kesehatan generasi bangsa, namun juga menyimpan potensi kerawanan korupsi jika tidak dikelola dengan akuntabel dan transparan.
Dalam forum diskusi daring bersama Transparency International Indonesia (TII), Selasa (8/7/2025), Ketua KPK Setyo Budiyanto menggarisbawahi empat aspek krusial yang harus dikawal secara sistematis guna memastikan program ini berjalan bersih dan tepat sasaran.
“Pencegahan korupsi harus dimulai dari hulu, dari tahap perencanaan hingga implementasi. Apalagi MBG melibatkan anggaran besar dan jutaan penerima manfaat,” ujar Setyo dalam keterangannya.
Empat Pilar Pengawasan MBG
Menurut Setyo, pengawasan MBG harus bertumpu pada empat pilar utama:
- Akuntabilitas Anggaran
Dengan anggaran besar yang dikelola Badan Gizi Nasional (BGN), Setyo menekankan pentingnya pemanfaatan teknologi informasi agar distribusi dan serapan anggaran bisa dipantau publik secara real time. “Keterbukaan ini adalah benteng pertama dari korupsi,” katanya. - Penguatan SDM
Rantai pelaksanaan program yang melibatkan pegawai BGN, vendor, hingga Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) memerlukan koordinasi yang solid. Menurut Setyo, sistem pengawasan internal yang kuat dan tanggung jawab kolektif sangat dibutuhkan agar tidak terjadi penyimpangan. - Pengawasan Kualitas Bahan Baku
“Kita tidak boleh kompromi soal kualitas makanan anak-anak,” tegasnya. KPK meminta standar gizi dan keamanan makanan diterapkan secara ketat, serta diawasi bersama oleh BGN dan lembaga pengawas seperti BPOM. - Kesiapan Infrastruktur
Fasilitas pendukung seperti SPBG (Satuan Pelayanan Bergizi Gratis) harus dibangun secara tepat guna dan berkelanjutan. Infrastruktur ini akan menentukan kelancaran distribusi makanan dan efisiensi operasional di lapangan.
Setyo menambahkan bahwa absennya regulasi khusus dan kelembagaan yang kuat membuka peluang terjadinya penyelewengan. Ia menyarankan penyusunan Instruksi Presiden (Inpres) dan pembentukan kantor layanan MBG di tiap provinsi.
“Tidak cukup hanya satu institusi. Pengawasan harus melibatkan masyarakat, LSM, media, dan semua pemangku kepentingan,” imbuhnya.
Seruan Kolaborasi dan Regulasi
Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani, dalam forum yang sama, menyuarakan perlunya audit berkala sebagai bagian dari kontrol mutu. Ia juga mendorong kolaborasi yang lebih erat antara BGN dan BPOM untuk menjamin keamanan pangan.
“Audit bisa jadi alat belajar. Lewat evaluasi berkala, pola-pola yang menyimpang bisa segera diperbaiki,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai belum adanya regulasi yang jelas antara BGN dan lembaga lain seperti BPOM dan Kementerian Kesehatan sebagai celah serius yang harus segera ditutup.
“Koordinasi tanpa dasar hukum akan lemah. Bahkan BPOM belum mendapat anggaran khusus untuk program ini. Ini rawan disalahgunakan,” kritiknya.
Baik Netty maupun Agus sepakat perlunya nota kesepahaman (MoU) dan protokol kerja bersama antarinstansi, termasuk dengan pemerintah daerah. “Kunci keberhasilan MBG ada pada komitmen kerja sama lintas sektor,” tandas Netty.
Investasi Bangsa, Bukan Ladang Korupsi
Program Makan Bergizi Gratis sejatinya adalah langkah strategis untuk mencetak generasi yang sehat dan cerdas. Namun tanpa pengawasan menyeluruh, regulasi yang tegas, dan kolaborasi lintas lembaga, program ini bisa gagal mencapai tujuannya.
KPK berjanji akan terus mengawal program MBG agar tidak menjadi ladang korupsi, melainkan wujud nyata kepedulian negara terhadap masa depan anak-anak Indonesia.
“Ini bukan sekadar program makan siang. Ini adalah masa depan bangsa,” pungkas Setyo Budiyanto.





















