Headline.co.id (Jakarta)— Bank Dunia menegaskan bahwa standar garis kemiskinan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tetap menjadi acuan paling tepat dalam perumusan kebijakan nasional di Indonesia. Penegasan ini disampaikan dalam Lembar Fakta berjudul “The World Bank’s Updated Global Poverty Lines: Indonesia” yang dirilis pada 13 Juni 2025.
Meskipun Bank Dunia baru saja memperbarui garis kemiskinan global berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) 2021, lembaga keuangan internasional itu tetap menyarankan pemerintah Indonesia menggunakan standar nasional milik BPS. Pasalnya, penghitungan garis kemiskinan oleh BPS dinilai lebih relevan untuk kebutuhan domestik seperti penyaluran bantuan sosial dan perencanaan program pengentasan kemiskinan.
“Tentang kebijakan nasional di Indonesia, garis kemiskinan nasional dan statistik kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS adalah yang paling tepat,” tulis Bank Dunia dalam dokumen tersebut.
BPS selama ini menggunakan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) untuk menghitung garis kemiskinan di tingkat provinsi, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Data tersebut juga menjadi acuan Bank Dunia dalam menghitung tingkat kemiskinan versi internasional.
Namun, pendekatan metodologis antara keduanya berbeda. Bank Dunia menyesuaikan penghitungan kemiskinan internasional dengan tiga faktor: perubahan harga dari waktu ke waktu, perbedaan harga antarwilayah, dan perbedaan harga antarnegara berdasarkan PPP. Pendekatan ini dirancang untuk memudahkan perbandingan global antarnegara.
Dalam pembaruan terbarunya, Bank Dunia menaikkan ambang batas garis kemiskinan global. Untuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas seperti Indonesia, batas garis kemiskinan kini ditetapkan sebesar USD8,30 per hari atau sekitar Rp1.512.000 per orang per bulan. Ini melonjak dari standar sebelumnya yang sebesar USD6,85 berdasarkan PPP 2017.
Sebagai konsekuensinya, tingkat kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia meningkat drastis. Mengacu pada data di situs resmi Bank Dunia (pip.worldbank.org), sebanyak 68,3 persen penduduk Indonesia tergolong miskin menurut standar internasional terbaru—setara dengan 194,72 juta jiwa dari total populasi 285,1 juta pada tahun 2024.
Kontras dengan itu, BPS mencatat tingkat kemiskinan nasional per September 2024 hanya 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa, berdasarkan garis kemiskinan sebesar Rp595.242 per orang per bulan.
Bank Dunia menegaskan bahwa perbedaan ini bukan bentuk kontradiksi, melainkan akibat perbedaan tujuan penggunaan. Garis kemiskinan nasional dirancang untuk menjawab kebutuhan kebijakan dalam negeri, sedangkan standar internasional berguna sebagai alat pemantau global.
“Definisi kemiskinan nasional dan internasional sengaja dibuat berbeda karena digunakan untuk tujuan yang berbeda,” jelas Bank Dunia.
Dengan demikian, meskipun laporan internasional menunjukkan angka kemiskinan yang lebih tinggi, Indonesia tetap disarankan mengacu pada data dan standar BPS dalam merancang kebijakan perlindungan sosial, bantuan langsung tunai, serta strategi pengentasan kemiskinan lainnya.
Pernyataan Bank Dunia ini menjadi penegasan penting bahwa ukuran global bukanlah pengganti bagi pendekatan nasional yang kontekstual, melainkan pelengkap dalam membaca tantangan kemiskinan dari berbagai dimensi.





















