Headline.co.id (Sleman) — Di balik rimbun dedaunan dan aroma tanah lembap di lereng Tempel, Sleman, sekelompok petani masih setia menjaga denyut kehidupan buah salak. Meski lahan kian menyusut dan pasar tak lagi semudah dulu, mereka tetap menggenggam erat warisan ini dengan cinta dan ketekunan.
Wartini, pemilik kebun salak di Dusun Nglebeng, Kalurahan Margorejo, masih setia menyusuri lorong-lorong tanamannya. Meski usia tak lagi muda dan suaminya tak sekuat dulu, perempuan paruh baya ini enggan beranjak dari salak.
“Dulu habis panen bisa langsung saya jual ke pedagang di pinggir jalan. Sekarang, kalau mau uang tunai harus bawa ke Jogja,” ucap Wartini, Selasa (17/6/2025). Meski proses pemasaran kini lebih menantang, ia tetap memilih mempertahankan kualitas buah dan tidak berpaling ke tanaman lain. “Membongkar salak itu butuh biaya besar, belum lagi tenaganya. Kami tak sanggup mulai dari nol.”
Bagi sebagian petani seperti Rusdianto, kebun salak bukan sekadar sumber nafkah, melainkan juga ladang kenangan dan keasyikan tersendiri.
“Saya paling senang menyerbuk bunga salak. Rasanya seperti merawat anak sendiri,” tutur petani asal perbatasan Yogyakarta-Jawa Tengah ini. Baginya, salak adalah tanaman yang tidak rewel dan penuh berkah. “Daunnya bisa jadi pupuk, kadang saya tambahi kotoran sapi. Dan salak itu bersih, buahnya tak perlu disemprot bahan kimia.”
Namun, angka berkata lain. Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Sleman, luas lahan salak menurun drastis dari 2.163 hektare pada 2019 menjadi hanya 1.240 hektare pada 2023. Angka ini tak sekadar statistik, tapi cermin getir realita.
Triono Gunadi, Dukuh Nglebeng sekaligus petani salak, membenarkan tren ini. Ia menyebut banyak pemilik lahan yang memilih membongkar tanaman salak yang menua dan tak produktif, alih-alih meremajakan. “Kini banyak yang alih tanam ke kelengkeng atau buah semusim seperti melon,” ujar Triono.
Tak hanya persoalan produksi, pola pemasaran pun berubah. Salak tak lagi mudah dijajakan di pinggir jalan. Pembatas jalan di sepanjang Jalan Magelang membuat jalur cepat tanpa ruang bagi pembeli spontan.
“Pedagang eceran nyaris hilang. Dulu orang bisa berhenti sebentar beli salak, sekarang tidak bisa lagi,” keluh Triono.
Meski demikian, harapan belum padam. Di tengah keterbatasan, para petani seperti Wartini, Rusdianto, dan Triono tetap menjadi penjaga rasa, merawat salak sebagai buah primadona Tempel. Tak sekadar bertani, mereka sedang mempertahankan warisan.
“Salak itu tetap punya tempat di hati masyarakat sini,” tutup Triono dengan keyakinan. Di balik tantangan, mereka menanam harapan—bahwa salak Sleman akan tetap manis, di lidah maupun di hati.















