Headline.co.id (Jogja) ~ Di tengah hiruk-pikuk pusat kota Yogyakarta, berdiri kokoh sebuah saksi bisu perjalanan sejarah Indonesia: Benteng Vredeburg. Kini, benteng yang dulunya merupakan pos militer Belanda itu telah bertransformasi menjadi museum cagar budaya yang menyimpan jejak perjuangan bangsa, lengkap dengan diorama-diorama bersejarah dan ruang pameran edukatif.
Baca juga: Pantai Kuta Bali: Ikon Wisata Pulau Dewata dengan Pesona Matahari Terbenam yang Memikat
Berada persis di kawasan nol kilometer Yogyakarta, Benteng Vredeburg terletak berdampingan dengan Gedung Agung—kantor kepresidenan di Yogyakarta—dan Kantor Pos Besar di sisi selatannya. Lokasi strategis ini menjadikan museum tersebut mudah dijangkau dan menjadi destinasi wisata edukasi favorit wisatawan lokal maupun mancanegara.
“Bangunan ini awalnya didirikan oleh Belanda pada tahun 1760 sebagai alat pengawasan terhadap aktivitas Keraton Yogyakarta,” terang seorang pemandu museum dilansir Headline Media dari Era Wisata. Ia menjelaskan, walaupun berdalih untuk menjaga keamanan keraton, pendirian benteng ini sempat menuai penolakan dari pihak keraton karena dianggap sebagai bentuk intervensi kolonial.
Pembangunan benteng ini disebut-sebut sebagai hasil kompromi antara Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Nicholaas Harting, Gubernur Direktur Pantai Utara Jawa saat itu. Dengan alasan Belanda telah membantu meredam konflik antara Sultan Hamengkubuwono I dan Susuhunan Pakubuwono III, akhirnya benteng ini dibangun, menandai awal dari pengawasan ketat Belanda terhadap wilayah keraton.
Baca juga: Sejarah Pantai Pandawa: Dari ‘Kutuh’ yang Tersembunyi Menjadi Ikon Wisata Bali
Kini, Museum Benteng Vredeburg menjadi ruang edukasi publik yang menyimpan puluhan diorama sejarah perjuangan bangsa. Tercatat ada empat ruang diorama utama yang menyajikan peristiwa penting, mulai dari perjuangan Pangeran Diponegoro, masa pendudukan Jepang, hingga era Orde Baru.
“Diorama pertama terdiri dari 11 minirama, menggambarkan perlawanan gerilya Pangeran Diponegoro dan masa pendudukan Jepang di Yogyakarta. Diorama kedua memuat 19 minirama tentang momen proklamasi hingga agresi militer Belanda,” jelas Rizqy Shewhite kepada kontributor media wisata.
Diorama ketiga menyajikan 18 minirama peristiwa dari Perjanjian Renville hingga pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Sedangkan diorama keempat menyuguhkan 7 minirama yang merekam perjalanan bangsa dari masa republik hingga awal Orde Baru.
Baca juga: Berkenalan dengan Pantai Ngrenehan: Pesona Tersembunyi di Selatan Yogyakarta
Tak hanya diorama, pengunjung juga bisa menikmati berbagai ruang penunjang, seperti ruang audio visual, ruang permainan interaktif, ruang konsentrasi, auditorium, ruang laktasi, hingga pameran tetap dan temporer.
dilnsir Headline.co.id dari erawisata.com Museum ini buka untuk umum setiap hari kecuali Senin mulai pukul 09.00 hingga 14.00 WIB. Harga tiket masuk pun sangat terjangkau. Pengunjung dewasa dikenai biaya Rp3.000, anak-anak Rp2.000, dan untuk rombongan minimal 20 orang, cukup membayar Rp2.000 (dewasa) dan Rp1.000 (anak-anak). Sementara itu, wisatawan asing dikenai tarif Rp10.000 per orang.
Baca juga: Resep Opor Ayam Lebaran: Menu Tradisional yang Wajib Ada di Meja Makan Hari Raya
Sebagai pelengkap kunjungan, pihak museum juga menyediakan fasilitas umum seperti toilet, kantin, ruang parkir, taman, serta perpustakaan yang dapat digunakan oleh para pengunjung.
Museum Benteng Vredeburg bukan sekadar bangunan tua di tengah kota. Ia adalah ruang hidup bagi memori sejarah, tempat belajar yang menyenangkan, serta bukti nyata betapa pentingnya melestarikan warisan budaya di tengah perkembangan zaman.
Baca juga: Liburan di Pantai Parangtritis? Kenali Ancaman Rip Current yang Mengintai





















