Pakar UGM: Kekerasan Seksual di Dunia Medis adalah Fenomena Gunung Es ~ Headline.co.id (Jogja). Kasus pelecehan seksual yang menyeret oknum dokter di RSUP Hasan Sadikin Bandung dan sebuah klinik di Garut, Jawa Barat, kembali mengusik kepercayaan publik terhadap profesi dokter. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Lu’luatul Chizanah, mengungkapkan bahwa ketimpangan kuasa antara dokter dan pasien menjadi salah satu faktor utama yang memfasilitasi terjadinya tindak kekerasan tersebut.
Baca juga: Mahasiswa Semarang Jatuh Saat Panjat Tebing di Pantai Siung, Ini Kronologinya
“Status atau kuasa yang lebih tinggi memfasilitasi pelaku untuk mengambil keuntungan dari pihak lain, dalam hal ini keuntungan yang bersifat seksual,” ujar Lu’luatul dilansir Headline Media Dari NU Online, Kamis (24/4/2025).
Menurutnya, dokter memiliki wewenang lebih besar lantaran penguasaan ilmu dan keterampilan medis, sementara pasien berada dalam posisi bergantung. Kondisi ini membuka celah bagi penyalahgunaan kuasa, termasuk dalam bentuk pelecehan seksual.
Lu’luatul, yang akrab disapa Lulu, juga menyoroti reaksi korban saat mengalami pelecehan. Ia menjelaskan adanya fenomena “freeze response”, yakni respons diam tanpa perlawanan akibat insting bertahan hidup.
Baca juga: 2 Resep Praktis: Sup Daun Kelor Anti Masuk Angin dan Smoothie Kelor untuk Detox
“Respons ini bukan berarti memberi persetujuan, tapi sebenarnya merupakan respons instingtif untuk menyelamatkan diri,” katanya.
Ia menambahkan, freeze response tidak selalu berlangsung singkat. Pada beberapa kasus, respons ini bisa bertahan hingga satu jam, yang menyebabkan korban terlambat untuk melawan atau meminta pertolongan.
Lebih jauh, Lulu menegaskan bahwa tindak pelecehan seksual oleh dokter merupakan pelanggaran serius terhadap kode etik profesi. Ia mengingatkan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap penerapan kode etik tersebut.
“Asosiasi profesi dokter atau lembaga berwenang harus memiliki sistem pelaporan yang baik. Keburaman dalam penegakan aturan membuat pelaku merasa leluasa,” tuturnya.
Baca juga: Cara Mengolah Daun Kelor Agar Nutrisinya Tetap Maksimal
Sementara itu, Dosen Psikologi UGM lainnya, Novi Poespita Candra, menilai bahwa kasus kekerasan seksual di dunia medis merupakan fenomena gunung es. Ia menyoroti lemahnya kultur etik dan moral di lingkungan layanan kesehatan sebagai akar persoalan.
“Ini hal yang menyedihkan dan perlu diwaspadai serta dicari akar persoalannya jika memang ingin menyelesaikan,” ungkap Novi.
Menurut Novi, budaya institusi layanan kesehatan, bahkan lembaga pendidikan kedokteran, turut berkontribusi dalam membentuk perilaku menyimpang. Ia menyebut adanya normalisasi terhadap kekerasan, pelecehan, perundungan, senioritas, hingga tekanan kompetisi di dunia pendidikan kedokteran.
Baca juga: Niat Menjaring Ikan, Pemuda Sedayu Terseret Arus Sungai Progo
“Jika sejak dalam pendidikan para dokter ini terbiasa hidup pada lingkungan niretik, maka ini yang berpotensi akan dilanjutkan saat dia menjadi profesional,” paparnya.
Ia menambahkan, dalam perspektif teori ekologi sosial Brofenbrener, kekerasan atau pelecehan seksual tidak hanya disebabkan faktor individu, melainkan juga dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, institusi pendidikan, dan sistem kesehatan nasional.
“Lebih luas lagi juga dipengaruhi sistem kesehatan di negara ini yang diduga berorientasi bisnis,” pungkasnya.
Baca juga: Mahasiswa Semester 8 Tembak Ibu Kandung, Polisi Dalami Motif dan Senjata
















