Headline.co.id, Jakarta ~ Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) menegaskan komitmennya untuk melindungi perkembangan anak di ruang digital melalui kebijakan Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik Dalam Pelindungan Anak (PP Tunas). Langkah ini bertujuan untuk mengurangi adiksi terhadap gawai dan konten digital. Pernyataan ini disampaikan oleh Tenaga Ahli Dirjen Komunikasi dan Media Publik (KPM) Kemkomdigi, Latief Siregar, dalam acara TUNAS Bootcamp – Gerakan Kampanye #TungguAnakSiap di Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Latief menjelaskan bahwa kecanduan konten digital, terutama video pendek, telah menimbulkan fenomena brain rot, yaitu penurunan fungsi konsentrasi akibat konsumsi konten yang berlebihan. Kondisi ini berdampak pada pola tidur, jam belajar, dan kemampuan fokus anak. “Ketika anak adiktif terhadap gawai, jam tidurnya terganggu, jam belajarnya terganggu, dan konsentrasinya menurun. Inilah yang sekarang dikenal dengan istilah brain rot,” jelas Latief.
Selain itu, Latief menyoroti dampak adiksi digital terhadap kesehatan mental, termasuk meningkatnya kecemasan di kalangan anak dan remaja yang dipicu oleh tekanan sosial di media sosial, seperti ketergantungan pada jumlah like dan komentar. “Generasi yang tumbuh dengan gawai sangat akrab dengan validasi digital. Ketika unggahan mereka tidak mendapat respons, itu bisa memunculkan kecemasan baru,” ujarnya.
Latief juga menekankan dampak serius pada kesehatan fisik akibat minimnya aktivitas gerak karena terlalu lama bermain gawai, yang berkontribusi pada meningkatnya kasus obesitas pada anak. Ia mencontohkan kasus gangguan kesehatan akibat kebiasaan menahan buang air karena terlalu fokus bermain gim. “Anak-anak menjadi kurang bergerak, lebih banyak duduk, bermain gim atau scrolling tanpa aktivitas fisik. Ini berdampak langsung pada kesehatan tubuh,” ungkapnya.
Dalam hal kebijakan, Latief menjelaskan bahwa Indonesia mengambil pendekatan berbeda dibandingkan sejumlah negara lain. Jika Australia melarang penuh penggunaan media sosial bagi anak di bawah 16 tahun, Indonesia memilih pendekatan berbasis perlindungan dan pendampingan, dengan tetap mempertimbangkan tumbuh kembang anak. Untuk anak di bawah 13 tahun, penyedia layanan digital diwajibkan menyediakan konten yang aman dan dirancang khusus bagi anak, dengan persetujuan serta pendampingan orang tua. Sementara untuk kelompok usia 13 hingga di bawah 16 tahun, penggunaan layanan digital masih diperbolehkan dengan pengawasan ketat dan persetujuan orang tua, mengingat risiko yang tetap ada.
Pada kelompok usia 16 hingga 18 tahun, Latief menyebutkan bahwa tingkat risikonya semakin tinggi seiring meningkatnya akses dan intensitas penggunaan media sosial. Oleh karena itu, peran orang tua dan pengawasan tetap menjadi kunci utama. Latief menegaskan bahwa regulasi PPKS merupakan bukti bahwa Indonesia tidak tertinggal dalam upaya perlindungan anak di ruang digital. Bahkan, sejumlah negara disebut menjadikan Indonesia sebagai rujukan dalam penyusunan kebijakan serupa. “Kita ingin meningkatkan kesadaran bersama bahwa Indonesia sudah memiliki kebijakan perlindungan anak di ruang digital. Ini bukan soal melarang semata, tetapi mengelola risiko dan memastikan keselamatan anak,” tegasnya.
Melalui kegiatan Tunas Bootcamp, Kemkomdigi berharap generasi muda, pendidik, dan orang tua semakin memahami risiko ruang digital serta mampu berperan aktif menciptakan ekosistem digital yang sehat, aman, dan bertanggung jawab bagi anak-anak Indonesia.




















