Headline.co.id, Jakarta ~ Pusat Pembiayaan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengadakan diseminasi data National Health Account (NHA) 2024 yang menunjukkan pencapaian penting dalam transformasi sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia. NHA disusun sebagai bagian dari pilar transformasi pembiayaan kesehatan untuk memantau besaran dan pola pengeluaran kesehatan nasional. Laporan ini telah disampaikan kepada Menteri Kesehatan serta dilaporkan kepada World Health Organization (WHO) dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), sehingga Indonesia tercatat dalam laporan resmi pengeluaran kesehatan global.
Kepala Pusat Pembiayaan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Ahmad Irsan A. Moeis, menyatakan bahwa laporan NHA ini menjadi rujukan penting dalam perencanaan dan evaluasi kebijakan pembiayaan kesehatan. “Laporan NHA ini menjadi rujukan penting dalam perencanaan dan evaluasi kebijakan pembiayaan kesehatan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Total belanja kesehatan Indonesia pada 2024 mencapai hampir Rp640 triliun, tepatnya Rp639,9 triliun. Angka ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan satu dekade lalu, terutama didorong oleh pembiayaan publik yang menjadi penopang utama perluasan dan pemerataan akses layanan kesehatan. Salah satu capaian penting yang tercermin dalam NHA 2024 adalah penurunan signifikan proporsi pengeluaran kesehatan dari kantong pribadi atau out-of-pocket (OOP). Dalam kurun waktu sepuluh tahun, proporsi OOP berhasil ditekan dari lebih dari 40 persen pada 2014 menjadi 28,3 persen pada 2024.
Ahmad Irsan menambahkan, “Meskipun ini merupakan prestasi yang patut diapresiasi, proporsi OOP tersebut masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara G20. Standar WHO bahkan menargetkan OOP berada di bawah 20 persen.” Tahun 2024 juga menandai tonggak penting dalam sejarah pembiayaan kesehatan nasional. Untuk pertama kalinya sejak 2014, belanja Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tercatat lebih tinggi dibandingkan OOP. Kondisi ini menunjukkan semakin kuatnya proteksi finansial kesehatan, khususnya bagi masyarakat miskin dan rentan.
“Negara semakin hadir dalam memenuhi kebutuhan layanan kesehatan masyarakat, meskipun akses layanan tetap menjadi agenda perbaikan berkelanjutan,” tambahnya. Di balik capaian tersebut, NHA 2024 juga menyoroti sejumlah tantangan yang perlu menjadi perhatian bersama. Salah satunya adalah dominasi belanja kuratif, di mana sekitar 87 persen belanja kesehatan nasional masih terserap pada layanan kuratif di rumah sakit.
Kondisi ini menunjukkan perlunya penguatan orientasi belanja ke arah promotif dan preventif, serta peningkatan peran Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebagai gatekeeper sistem pelayanan kesehatan. Dengan FKTP yang kuat, masyarakat diharapkan tidak perlu langsung mengakses layanan rumah sakit yang lebih kompleks dan berbiaya tinggi. NHA 2024 juga mencatat meningkatnya peran pemerintah daerah dalam belanja kesehatan seiring penguatan otonomi daerah. Namun, sebagian besar pembiayaan tersebut masih bersumber dari dana transfer APBN.
“Ke depan, hasil NHA ini diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat kapasitas fiskal mereka sendiri, sehingga mampu menopang pembangunan kesehatan secara berkelanjutan,” kata Ahmad Irsan. Disusun berdasarkan prinsip Peter Drucker, “what gets measured gets managed”, NHA diharapkan menjadi rujukan utama dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan kesehatan. Penggunaan data dan angka yang sama oleh seluruh pemangku kepentingan diyakini akan mempermudah sinkronisasi dan orkestrasi kebijakan lintas sektor.
Menurut Ahmad Irsan, NHA merupakan data milik bersama karena disusun dengan melibatkan berbagai kementerian/lembaga, pemerintah daerah, mitra pembangunan, akademisi, serta pemangku kepentingan ekosistem kesehatan lainnya. “Kesehatan tidak dapat berdiri sendiri. Ia harus berjalan beriringan dengan infrastruktur, industri alat kesehatan dan obat-obatan, serta selaras dengan enam pilar transformasi sistem kesehatan,” pungkasnya.








