Headline.co.id, Jakarta ~ Kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga masih menjadi masalah serius yang sering tidak terpantau karena terjadi di ruang privat dan jarang dilaporkan. Menanggapi hal ini, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga/BKKBN) mengajak masyarakat untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar.
“Kekerasan terhadap anak adalah fenomena yang sering terjadi di balik pintu tertutup, tidak terlaporkan, namun memiliki dampak luar biasa dalam menghancurkan masa depan seorang anak,” ujar Hemiliana Dwi Putri, Penata Kependudukan dan Keluarga Berencana Ahli Madya pada Direktorat Bina Keluarga Balita dan Anak, Kemendukbangga/BKKBN. Pernyataan ini disampaikan saat membuka Ruang Belajar Taman Asuh Sayang Anak (TAMASYA) Seri 3 dengan tema “Tata Laksana Penanganan Kekerasan pada Anak”, mewakili Wakil Menteri Kemendukbangga/BKKBN, Selasa (2/12/2025).
Hemiliana mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak masih banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia dan jumlahnya terus meningkat. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) hingga November 2025, tercatat 28.611 kasus kekerasan, dengan kekerasan seksual sebagai bentuk tertinggi sebanyak 6.999 kasus, dan korban terbanyak berada pada rentang usia 13–17 tahun. Dari jumlah tersebut, 16.848 kasus terjadi di lingkungan rumah tangga. “Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak-anak kita, justru menjadi lokasi yang paling sering terjadi kekerasan,” jelasnya.
Hemiliana juga menyoroti bahwa banyak kasus baru terungkap ketika kondisi korban sudah parah, termasuk kasus Ananda Alfaro yang sempat mengguncang publik. Ia menekankan bahwa tanda-tanda kekerasan sering kali terlewatkan karena kurangnya kepekaan lingkungan. Beberapa indikator yang perlu diwaspadai lain memar yang selalu disebut akibat terjatuh, anak mendadak menjadi sangat pendiam atau takut disentuh, mengalami ketakutan berlebihan pada suara keras atau figur tertentu, dan kemunduran perilaku seperti kembali gagap atau menarik diri dari pergaulan. “Kesadaran ini harus dimiliki oleh semua orang dewasa di sekitar anak, baik orang tua, guru, pengasuh, hingga masyarakat luas. Selain itu, penting adanya komunikasi hangat dan kedekatan emosional agar anak berani bercerita,” tegasnya.
Dalam kegiatan ini, pendalaman materi tata laksana penanganan kasus menghadirkan Tim Pakar Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada (RSA UGM) serta Direktorat Tindak Pidana Perlindungan Perempuan dan Anak serta Penyelundupan dan Perdagangan Orang (Ditipid PPA-PPO) Bareskrim Polri. “Penanganan kekerasan terhadap anak memerlukan kolaborasi tenaga medis, pengasuhan, dan sistem hukum yang kuat agar kasus dapat ditangani cepat, tepat, dan manusiawi,” jelas Hemiliana.
Ia juga menegaskan bahwa keberhasilan bonus demografi 2045 tidak akan tercapai jika masa kecil anak dipenuhi kekerasan. Anak korban kekerasan berisiko mengalami gangguan perkembangan otak, kesulitan belajar, masalah perilaku, trauma jangka panjang, serta gangguan kesehatan mental hingga dewasa. “Setiap anak yang datang ke TPA atau TAMASYA harus pulang dalam keadaan aman, bukan hanya secara fisik tetapi juga secara emosional,” ujarnya.
Sebagai penutup, ia menyampaikan apresiasi kepada seluruh mitra, pengasuh, penyuluh KB, Tim Pendamping Keluarga (TPK), kader, dan tenaga kesehatan yang terus memperkuat upaya perlindungan anak.





















