Headline.co.id (Jakarta) – Kemajuan teknologi informasi tak hanya membuka akses cepat terhadap informasi, tapi juga melahirkan realitas baru yang semu. Media sosial kini menjadi ruang ilusi di mana citra lebih dipercaya ketimbang kenyataan. Inilah peringatan keras yang disampaikan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, dalam acara perdana “PCO Goes to Campus” di Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Jakarta, Senin (30/6/2025).
Dalam forum bertema “Literasi Digital dan Tanggung Jawab Intelektual: Sinergi Pemerintah dan Kampus Menangkal DFK (Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian),” Hasan menyampaikan bahwa masyarakat saat ini hidup di tengah kaburnya batas antara nyata dan maya. “Hari ini, kita merasakan batasan yang kabur mana nyata dan maya, sehingga kita juga kerap gagap dalam mengambil tindakan,” ujarnya di hadapan lebih dari 200 mahasiswa.
Hasan mengangkat teori Simulacra dari filsuf Prancis Jean Baudrillard untuk menjelaskan fenomena sosial tersebut. Dunia, katanya, telah bergeser menjadi simulasi tontonan yang diyakini sebagai kenyataan. Dalam contoh konkret, ia menyinggung perilaku publik saat terjadi kecelakaan lalu lintas: alih-alih menolong korban, banyak yang justru sibuk merekam peristiwa demi konten viral.
“Ruang simulacra menjadikan orang hanya percaya pada citra. Mereka hidup dalam ilusi dan kehilangan pijakan terhadap kenyataan,” ungkap Hasan, mengingatkan bahwa reaksi semacam itu mencerminkan disorientasi sosial akibat paparan media digital yang berlebihan.
Lebih lanjut, Hasan menekankan pentingnya antidot terhadap fenomena simulacra. Ia mengajak generasi muda untuk tetap skeptis (bukan sinis), mengedepankan klarifikasi, memperkuat literasi, serta menjauhi reaksi emosional. “Kita harus membangun kesadaran kritis dan kembali ke dunia nyata,” tegasnya.
Senada dengan itu, Rektor UAI Prof. Asep Saefuddin dalam sambutannya menekankan pentingnya literasi digital sebagai benteng moral generasi muda di tengah arus informasi yang tidak semuanya membawa manfaat. “Tidak semua informasi di dunia digital itu benar. Banyak yang justru hoaks dan bersifat destruktif,” ujarnya. Ia menegaskan peran mahasiswa sebagai intelektual yang harus mampu memilah informasi dan tidak terjebak dalam jebakan digital yang merusak nalar dan moral.
Dalam kesempatan tersebut, Hasan Nasbi juga membeberkan arahan langsung Presiden Prabowo Subianto kepada para juru bicara kementerian/lembaga dan BUMN dalam pertemuan tertutup yang berlangsung pekan lalu. Salah satu poin penting yang ditekankan Presiden adalah pentingnya kecepatan dan keselarasan komunikasi publik dengan kebijakan pemerintahan.
“Presiden menyampaikan bahwa komunikasi itu sama pentingnya dengan kebijakan. Jangan sampai kebijakannya cepat, tapi komunikasinya lambat,” kata Hasan.
Ia juga menyinggung konsistensi Presiden Prabowo dalam isu pemberantasan korupsi yang selalu menjadi topik utama, baik dalam forum terbuka maupun tertutup. Hasan menilai hal ini sebagai bukti nyata keseriusan Presiden. “Kita telah melihat beberapa kasus korupsi besar yang berhasil dibongkar. Jika kebocoran-kebocoran ini bisa diminimalkan, maka anggarannya bisa dialihkan untuk memperkuat ketahanan energi, pangan, hingga nasional,” paparnya.
Hasan menegaskan, korupsi adalah satu dari empat musuh utama yang tengah diperangi oleh pemerintahan Prabowo, bersama dengan narkoba, penyelundupan, dan judi online. Menyusul arahan Presiden, tim PCO bersama Kementerian Komunikasi dan Digital menggelar rapat pendalaman selama dua hari guna memastikan keselarasan narasi komunikasi dengan visi besar pemerintahan.
“Ini bagian dari upaya kami membangun ekosistem komunikasi yang efektif, tanggap, dan adaptif terhadap kecepatan perubahan informasi, agar publik tidak lagi hidup dalam dunia yang hanya berupa bayang-bayang,” tutup Hasan.
Dengan seruan untuk kembali berpijak pada realitas dan memperkuat tanggung jawab intelektual, PCO Goes to Campus menjadi pengingat bahwa di era digital, kebenaran bukan sekadar viral—melainkan hasil dari pencarian yang kritis, jujur, dan bertanggung jawab.





















