Headline.co.id, Indramayu ~ Kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama di kalangan kelompok rentan, masih menjadi masalah serius di masyarakat. Banyak korban memilih untuk tidak bersuara karena pelaku sering kali adalah orang yang memiliki pengaruh di lingkungan sekitar atau bahkan dari keluarga terdekat. Menanggapi situasi ini, Migrant Care (Perempuan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat) bersama Dewan Kesenian Indramayu mengadakan Panggung Budaya sebagai aksi nyata untuk meningkatkan kesadaran publik.
Inisiatif ini merupakan bagian dari komitmen Kabupaten Indramayu untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Kegiatan ini juga menjadi bagian dari rangkaian Peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) yang berlangsung dari 25 November hingga 10 Desember, dengan tema “Diam Tertindas atau Bangkit Bersuara, Karena Suara Kita Adalah Kekuatan Perubahan.”
Kepala Dinas Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Disduk-P3A), Iman Sulaeman, menyampaikan apresiasi kepada semua pihak yang terus menyerukan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan. “Dahulu diam itu emas. Tetapi sekarang diam justru membuat kita tergilas. Pemerintah Kabupaten Indramayu melalui visi REANG berkomitmen mencegah dan menangani kekerasan perempuan melalui pengamanan, edukasi, dan advokasi,” ujarnya dalam kegiatan Panggung Budaya di kawasan Car Free Night Taman Aspirasi Indramayu, Sabtu (6/12/25).
Iman menambahkan bahwa edukasi dan sosialisasi terus digencarkan karena kasus kekerasan masih sering terjadi. Ia juga menyampaikan pesan Bupati Indramayu, Lucky Hakim, bahwa ketika satu perempuan berani bersuara, harapan akan tumbuh. Ketika banyak suara bersatu, perubahan besar dapat terwujud.
Ketua Dewan Kesenian Indramayu, Ray Mangku Sutentra, menyatakan keprihatinannya atas masih terjadinya berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk pekerja migran yang menjadi pahlawan devisa. Dia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bergerak bersama menolak segala bentuk kekerasan. “Kita perlu bergerak bersama, tidak hanya pemerintah, tetapi juga para aktivis dan masyarakat luas untuk menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Migrant Care Indramayu, Muhammad Santosa, mengungkapkan data dari Kementerian Pekerja Migran RI yang menunjukkan sekitar 57,56 persen pekerja migran Indonesia adalah perempuan, atau sekitar 13.003 orang setiap tahun. Ia menyatakan bahwa laporan kasus kekerasan terhadap pekerja migran perempuan mencapai 154 kasus, meningkat dari bulan sebelumnya yang berjumlah 103 kasus. Sejak 2023 hingga kini, Migrant Care telah menangani berbagai pengaduan, di mana sekitar 65 persen di antaranya berasal dari perempuan.
“Banyak dari mereka tidak berani bersuara, mungkin karena pelakunya adalah pihak yang berpengaruh. Karena itu, tema ‘Diam Tertindas, Bangkit Bersuara’ sangat relevan agar kasus-kasus ini bisa terungkap,” katanya. Kegiatan Peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan secara resmi dibuka pada malam itu, dengan seruan kekuatan perubahan bersama masyarakat untuk mewujudkan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan dan anak di Indramayu. (Mc Indramayu/Rw)



















