Headline.co.id, Jakarta ~ Setiap individu memiliki hak penuh atas tubuhnya sendiri, tanpa terkecuali. Hal ini ditegaskan oleh Sri Juwita Kusumawardhani, Wakil Ketua Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Wilayah DKI Jakarta, dalam webinar bertajuk “Kenali Tubuhku, Kelola Emosi, dan Batasan Pribadi”. Acara ini diselenggarakan untuk memperingati Hari Penyandang Disabilitas Internasional (HPDI) 2025, pada Kamis (4/12/2025).
Sri Juwita menekankan bahwa batasan tubuh bersifat tidak terlihat, namun harus dihormati. “Tidak ada seorang pun yang bebas menyentuh tubuh orang lain tanpa izin. Meminta persetujuan adalah bentuk penghargaan terhadap martabat manusia,” ujarnya. Ia memberikan contoh fenomena yang sering terjadi pada perempuan hamil, di mana banyak orang merasa berhak menyentuh perut ibu hamil tanpa izin, meskipun niatnya baik, hal tersebut dapat menimbulkan ketidaknyamanan.
Dalam budaya Indonesia yang dikenal hangat dan dekat, batasan pribadi sering kali terabaikan. “Seakan-akan semua orang punya hak untuk menyentuh tubuh orang lain, padahal itu bisa menimbulkan ketidaknyamanan,” jelas Sri Juwita. Ia menegaskan bahwa bahkan bayi dan anak-anak memiliki batasan tubuh. Orang tua pun perlu meminta izin saat membersihkan area privasi anak agar sejak dini mereka memahami bahwa tubuh adalah milik mereka sendiri.
Sri Juwita menjelaskan bahwa tubuh sering memberi tanda ketika merasa terancam, seperti gemetar, jantung berdebar cepat, merinding, berkeringat dingin, mual, ingin menangis, atau menjauh. “Jika tubuh memberi sinyal bahaya, artinya kamu tidak nyaman. Itu tandanya kamu berhak menghentikan situasi tersebut,” tegasnya.
Ia juga membagikan teknik sederhana untuk mengelola emosi, seperti teknik 4-6-8 yang melibatkan menarik napas selama 4 hitungan, menahan selama 6 hitungan, dan menghembuskan selama 8 hitungan. Teknik grounding 5-4-3-2-1 juga disarankan, di mana seseorang menyadari hal-hal di sekitar melalui penglihatan, sentuhan, pendengaran, penciuman, dan pengecapan. Selain itu, bergerak tanpa menyakiti, seperti istirahat sejenak, mencuci muka, atau melihat pemandangan hijau, dapat menurunkan intensitas emosi.
Menurut Sri Juwita, setiap orang perlu memiliki safety network, yaitu kelompok orang terpercaya yang bisa dimintai bantuan saat merasa tidak aman. Minimal satu orang di luar keluarga harus menjadi bagian dari jaringan ini. “Tidak pernah ada kata terlambat untuk bercerita. Ketika terjadi pelanggaran, itu bukan salahmu. Kamu berhak aman, kamu berhak dilindungi, dan kamu berhak meminta pertolongan,” tutupnya.





















