Headline.co.id, Bone ~ Kota Gorontalo menghadapi tantangan serius terkait keterbatasan lahan pertanian dan perkebunan akibat urban sprawl yang semakin meluas. Fenomena ini terjadi seiring dengan perubahan kawasan hijau menjadi permukiman dan infrastruktur pendukung aktivitas warga, pemerintah, dan sektor swasta. Penyebaran perkotaan ini tidak hanya terjadi di pusat kota, tetapi juga merambah wilayah pinggiran yang berbatasan dengan daerah lain, terutama didorong oleh aktivitas ekonomi.
Untuk mengatasi masalah ini, tim peneliti dari Universitas Negeri Gorontalo mengusulkan tiga opsi kebijakan, yaitu ekstensifikasi atau perluasan wilayah administrasi kota, pembentukan badan kerjasama antar daerah (BKD), dan intensifikasi pemanfaatan ruang kota. Dari ketiga opsi tersebut, ekstensifikasi dinilai sebagai pilihan terbaik berdasarkan skoring yang tinggi. “Opsi terbaik adalah ekstensifikasi atau perluasan wilayah administrasi kota, ini paling kuat dari sisi spasial dan proyeksi ekonomi jangka panjang,” ujar Ketua Tim Peneliti, Prof Dr Syarwani Canon, dalam presentasi akhir riset di Bapppeda Provinsi Gorontalo, Jumat (21/11/2025).
Rekomendasi ini didasarkan pada hasil perhitungan skor dan bobot tertinggi, menunjukkan keseimbangan terbaik dampak, kelayakan, dan kontribusi terhadap tujuan pembangunan kota yang lebih berkelanjutan. Menurut tim peneliti, idealnya aglomerasi perkotaan menciptakan efisiensi biaya dan produktivitas melalui kedekatan geografis. Namun, di Gorontalo, keterbatasan lahan dan fragmentasi tata ruang justru menimbulkan distorsi yang dapat menyebabkan segregasi sosial-ekonomi, memperlebar ketimpangan antarwilayah, serta memperlemah kohesi sosial masyarakat aglomerasi.
Kepadatan penduduk di Kota Gorontalo mencapai 2.589 jiwa per kilometer persegi, salah satu yang tertinggi di kawasan Pulau Sulawesi dan Nusa Tenggara. Sebagai perbandingan, Palu memiliki kepadatan 954 jiwa per kilometer persegi, sementara Manado lebih padat dengan 2.819 jiwa per kilometer persegi. “Tingginya kepadatan penduduk di Kota Gorontalo ini memicu fenomena urban sprawl ke wilayah sekitar,” kata Syarwani. Perluasan perkotaan di Gorontalo terutama mengarah ke Kecamatan Telaga dan Tilango di Kabupaten Gorontalo, serta Kecamatan Tapa dan Kabila di Kabupaten Bone Bolango.
Daerah pinggiran kota yang mengalami perkembangan pesat lain Kelurahan Huangobotu dan Tomulabutao di Kecamatan Dungingi serta daerah Wongkaditi di Kecamatan Kota Utara. Semua kompleks perumahan baru di lokasi ini awalnya adalah lahan pertanian. Perkembangan pesat Kota Gorontalo dimulai sejak tahun 2000 ketika Gorontalo menjadi provinsi tersendiri, terpisah dari Sulawesi Utara. Kota ini mengalami perubahan dari kota agraris menjadi kota jasa dan perdagangan, ditandai dengan alih fungsi lahan persawahan dan perkebunan menjadi kompleks permukiman, perkantoran, dan jasa.
Para peneliti juga memproyeksikan tren perkembangan Kota Gorontalo di masa depan, dengan empat fenomena utama: menguatnya sektor nonpertanian sebagai daya tarik urbanisasi kota, pencipta lapangan kerja, pendorong peningkatan pendapatan per kapita, dan penyerap tenaga kerja. Dalam riset ini, Syarwani Canon dibantu oleh M Yusuf Tuloli, Buyung Mahmoed, Ratih Ikawaty Hatu, dan M Anugerah Rahman.



















