Headline.co.id, Jogja ~ Pemerintah memutuskan untuk menunda kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2026. Keputusan ini memicu berbagai pandangan karena berada di kepentingan perlindungan kesehatan dan keberlangsungan ekonomi masyarakat. Dr. Hempri Suyatna, S.Sos., M.Si., seorang akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai kebijakan ini sebagai langkah jangka pendek yang berfokus pada stabilitas sosial. “Kebijakan ini diambil untuk meminimalkan dampak sosial yang lebih luas,” ujarnya pada Kamis (13/11).
Hempri menjelaskan bahwa kebijakan tersebut dapat dimengerti mengingat kondisi industri dalam negeri yang sedang lesu. “Kita bisa amati, saat ini cukup banyak industri padat karya yang gulung tikar sehingga berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Oleh karena itu, dalam jangka pendek, kebijakan tersebut mungkin dimaksudkan untuk meminimalkan dampak sosial yang lebih luas, khususnya pengangguran,” jelasnya.
Namun, Hempri menekankan bahwa aspek kesehatan publik tidak boleh diabaikan. Ia menyarankan agar edukasi dan kampanye mengenai bahaya merokok terus digalakkan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengendalian konsumsi. Salah satu isu yang turut menjadi perhatian adalah argumen bahwa kenaikan cukai dapat mendorong peredaran rokok ilegal yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Hempri berpendapat bahwa penyebabnya tidak hanya satu. “Saya kira merebaknya rokok ilegal tidak semata-mata disebabkan oleh kenaikan cukai legal,” katanya.
Ia menilai bahwa lemahnya pengawasan dan koordinasi antar lembaga juga berperan besar. “Bisa saja karena penegakan hukum yang kurang komprehensif. Ada banyak hal yang perlu diantisipasi, misalnya bagaimana pengawasannya, bagaimana koordinasi Bea dan Cukai, penegak hukum, lembaga peradilan, maupun lembaga kesehatan,” terangnya.
Lebih lanjut, Hempri menyinggung isu kesejahteraan petani dan buruh rokok yang sering dijadikan alasan penolakan kenaikan cukai. Menurutnya, kesejahteraan petani tembakau tidak sebanding dengan kontribusi besar mereka terhadap penerimaan negara. Ia mengutip hasil penelitian mahasiswanya pada 2023 yang menunjukkan kuatnya nilai budaya dalam pandangan masyarakat terhadap tembakau sebagai ’emas hijau’. “Meski dalam kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan, para petani tetap setia menanam tembakau karena dianggap sebagai berkah,” tuturnya.
Faktor budaya ini, ditambah kurangnya pendampingan pemerintah, menurut Hempri, membuat program alih profesi bagi buruh rokok berjalan lambat. Oleh karena itu, ia mendorong agar pemerintah tidak hanya melihat isu cukai dari aspek ekonomi, tetapi juga dari dimensi sosial, budaya, dan kesehatan. “Melalui analisis multidimensi, sosial, kesehatan, ekonomi, dan budaya, diharapkan muncul solusi yang menjadi jalan tengah terbaik,” pungkasnya.






















