Headline.co.id, Sleman ~ Festival seni media baru, Kirana Viramantra, menghadirkan perpaduan cahaya dan sejarah dalam suasana magis di Monumen Jogja Kembali (Monjali) pada Senin (10/11/2025). Acara ini merupakan kolaborasi Kementerian Kebudayaan RI, Monjali, dan Fayafla, yang bertujuan untuk memaknai Hari Pahlawan dengan pendekatan modern dan menyentuh.
Pertunjukan tersebut menampilkan kolaborasi video mapping dari Mantradisi dan drama musikal berbasis macapat berjudul “Goro-Goro Diponegoro” oleh Sanggar Kinanti Sekar. Karya ini menggabungkan teknologi dengan nilai-nilai perjuangan. Acara ini dihadiri oleh Direktur Pengembangan Digital Kementerian Kebudayaan RI, Andi Syamsu Rijal; Sekretaris Dinas Kebudayaan Sleman, Arif Wibowo; Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti; serta sejumlah tokoh museum dari DIY dan Sleman.
Kepala Museum Monjali, Yudi Pranowo, menyatakan bahwa Kirana Viramantra merupakan puncak kegiatan budaya yang bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan. “Kirana Viramantra berarti melangitkan doa untuk pahlawan melalui cahaya. Kolaborasi seniman dan museum dengan teknologi masa kini diharapkan mampu menarik generasi muda agar semakin dekat dengan museum, sesuai slogan Museum di Hatiku,” ujarnya.
Pertunjukan di halaman Monjali menampilkan tata cahaya dan proyeksi visual yang megah, menyatu dengan arsitektur museum, menciptakan suasana reflektif namun memukau. Arif Wibowo, Sekretaris Dinas Kebudayaan Sleman, menilai Kirana Viramantra sebagai ruang baru untuk menghidupkan semangat perjuangan dalam narasi kebangsaan. “Kirana berarti cahaya, Viramantra berarti kekuatan spiritual doa. Jika digabungkan, keduanya bermakna semangat kreatifitas dan kebersamaan dalam berkarya. Teknologi digital bukan ancaman, tapi peluang untuk menyalakan kembali semangat zaman,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa perpaduan sejarah, seni, dan teknologi dalam karya ini menjadi wujud kreatifitas keindonesiaan yang menyatukan masa lalu dan masa kini. Sementara itu, Andi Syamsu Rijal dari Kementerian Kebudayaan RI mengapresiasi kerja keras para seniman, kreator cahaya, dan penari yang terlibat dalam pementasan tersebut. “Mari memahami esensi perjuangan dan menggelorakan semangat kepahlawanan. Kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil kebersamaan dan pengorbanan. Sejarah bukan masa lalu yang usang, tapi panduan bagi masa depan,” ungkapnya.
Drama musikal “Goro-Goro Diponegoro” mengisahkan perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajahan Belanda pada Perang Jawa (1825–1830). Cerita ini dikemas lewat tembang-tembang macapat seperti maskumambang, durma, mijil, kinanti, gambuh, megatruh, dan dhandhanggula, menggugah rasa nasionalisme penonton. Selain menikmati pertunjukan utama, pengunjung juga dapat menjelajahi instalasi cahaya di area Monjali, karya Paguyuban Gegerboyo di sisi timur, Roby Setiawan di sisi barat, dan Fayafla di bagian dalam.
Pagelaran ini membuktikan bahwa warisan sejarah dan teknologi digital dapat bersatu dalam satu panggung yang indah, menghidupkan kembali semangat kepahlawanan melalui cahaya, doa, dan kreativitas.




















