Headline.co.id, Bidang Sains ~ Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM) masih sering dianggap sebagai domain laki-laki. Menurut laporan UNESCO dari International Labour Organization tahun 2020, hanya 37 persen perempuan Indonesia yang bekerja di sektor STEM. Sebaliknya, perempuan lebih dominan di bidang kesehatan dan pendidikan, menunjukkan adanya kesenjangan gender dalam pendidikan dan karier.
Dr. Suzie Handajani, M.A., seorang antropolog dari UGM, menyatakan bahwa stereotip ini adalah konstruksi sosial yang bisa diubah. “Kalau gender itu buatan manusia, berarti bisa diubah oleh manusia,” ujarnya pada Rabu (12/11). Ia menyoroti sejarah di mana peran perempuan dalam ilmu pengetahuan sering kali tersembunyi di balik laki-laki, meskipun banyak penemuan penting berasal dari perempuan, seperti Katalin Kariko yang berperan dalam pengembangan vaksin mRNA Covid-19.
Suzie juga mengingatkan strategi Kartini yang mendirikan sekolah perempuan untuk memperkuat posisi perempuan. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih unggul secara akademik di lingkungan yang seluruhnya perempuan. Komunitas perempuan saat ini, seperti WISE (Women in Science and Engineering), penting untuk saling mendukung. “Kumpulnya itu bukan untuk memisahkan diri, tetapi secara strategis menggalang kekuatan,” jelas Suzie.
Selain komunitas, Suzie melihat media sosial sebagai alat untuk membalikkan stereotip. Ia berpendapat bahwa media sosial dapat menjadi ruang pemberdayaan, bukan penghalang. Media sosial memungkinkan kebebasan berkreasi dan dapat mengungkap sisi lain dari jurusan STEM. Misalnya, kanal kreatif seperti ‘cewek di teknik kimia’ atau ‘student moms in STEM’ dapat menampilkan keseharian dan tantangan perempuan di bidang tersebut.
Suzie menambahkan bahwa calon mahasiswa perempuan dapat merasa memiliki jejaring emosional melalui media sosial, sehingga tidak takut memasuki dunia yang didominasi laki-laki. “Mereka tidak melihat itu sebagai sesuatu yang di awal-awal harus ditakuti,” katanya. Selain itu, Suzie menyoroti pentingnya representasi perempuan dalam media, seperti novel dan film ‘Lessons in Chemistry’, yang menggambarkan perjuangan ilmuwan perempuan di dunia kimia.
Menurut Suzie, representasi ini penting agar perempuan di bidang sains memiliki panutan dan merasa bahwa jalan yang mereka tempuh bukanlah hal yang mustahil. “Mereka butuh idola yang perempuan,” ujarnya. Suzie berpesan kepada generasi muda, terutama perempuan, bahwa memiliki banyak pilihan karier adalah bentuk pemberdayaan. Ia menekankan bahwa aspek domestik kini terkait erat dengan ilmu STEM. “Sebagian besar teknologi ditujukan untuk perempuan. Maka sudah seharusnya perempuan juga ikut membuatnya,” tutup Suzie.





















